![]() |
| Sumber: Dezeen |
"Mai." Suara yang familiar di telinga Taniyama Mai berdengung lembut. "Daijoubu?"
Tubuhnya terasa hangat padahal Mai ingat betul kalau beberapa saat yang lalu dia terjerembab ke dalam sebuah lubang dekat pondok kecil Kuroshima. Kemudian setelah terperosok jatuh, Mai sempat mendengar suara sesuatu yang berat bergeser. Saat itu hujan sedang mengguyur deras. Siapa yang berkeliaran di malam hujan seperti ini? Mengabaikan dirinya, tentu saja.
Kali ini kasus datang dari keluarga Watanabe yang memiliki pulau bernama Kuroshima yang diduga telah didiami oleh arwah gentayangan yang tenggelam di sekitar pulau akibat badai besar. Biasanya keluarga Watanabe hanya singgah di pulau saat liburan musim panas dan gugur atau saat ada acara semacam pesta kebun. Selebihnya, pulau ditinggal kosong dan hanya menyisakan sepasang suami-istri Takahashi yang diamanatkan menjaga pulau Kuroshima.
Namun, belakangan ini pasangan Takahashi tersebut mengadu adanya beberapa gangguan aneh. Berawal dari lampu di rumah utama yang sering menyala dengan sendirinya hingga suara jeritan pilu dan tangisan seorang wanita dari hutan kecil di belakang rumah.
Pasangan tersebut mengatakan bahwa hal tersebut terjadi setelah acara pesta kebun yang diadakan oleh keluarga Watanabe di pertengahan musim gugur. Mulanya cuaca sore hari itu cerah dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Setelah satu jam acara tersebut berlangsung, seketika awan mendung besar bergelung datang mendekat. Hal selanjutnya yang terjadi adalah hujan yang disertai badai. Salah seorang tukang kebun, seorang gadis yang masih kerabat dekat pasangan Takahashi sedang merapikan pagar tanaman di tepi jurang ketika angin kencang menyeret dan mendorongnya jatuh ke laut.
Kecelakaan itu diduga menjadi awal mula terjadinya teror arwah gentayangan. Mai sempat berdebat dengan Shibuya Kazuya tentang arwah yang menempati pulau Kuroshima. Kazuya berpendapat kalau suara itu bukan dari arwah gentayangan. Akan tetapi, Mai dengan insting kuatnya berpendapat kalau ada sesuatu yang salah di pulau Kuroshima, walau dia tidak begitu yakin apa itu.
"Sepertinya kita hanya membuang waktu saja di sini." Kazuya berkata dengan mimik datar setelah selesai mengamati beberapa layar monitor yang memantau keadaan sudut-sudut ruang rumah utama di depannya. "Sebaiknya kita kembali saja dan kita serahkan masalah ini pada polisi."
"Kurasa kita juga perlu memikirkan nasib kita selanjutnya." Itu adalah suara Matsuzaki Ayako, pendeta yang stylish. Ayako telah melakukan pengusiran arwah seperti yang telah diminta oleh Kazuya, tetapi menjelang tengah malam kemarin, mereka mendengarkan jeritan pilu seorang wanita. "Lolongan wanita itu sepertinya adalah pertanda bahwa dia menginginkan kita mati."
"Mungkin ada baiknya John dan aku juga berkeliling sebentar dan mengecek keadaan sekitar." Kali ini Takigawa Houshou bersuara. "Barangkali kami akan menemukan sesuatu."
"Pantai di sini juga bagus." Ayako berpendapat sembari melongok ke jendela. "Sou desu yo ne, Masako? Kita bisa berjemur besok pagi sambil membawa jimat untuk berjaga-jaga."
Hara Masako yang ditanyai oleh Ayako membuang muka, tak acuh. "Tugas kita di sini adalah membantu Naru."
"Eto, Naru," Mai membuka suara, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Kazuya yang dipanggil Naru oleh Mai hanya diam saja memandangi Mai sebelum akhirnya pergi.
"Naru!" Teriak Mai. "Yamete yo!"
Inilah yang kemudian terjadi saat Mai mencoba menyusul Kazuya. Mai terperosok dalam lubang dekat pondok kecil pulau Kuroshima yang licin lantaran hujan deras sedang turun. Sebelum Mai kehilangan kesadarannya, Mai masih dapat merasakan ada tangan hangat yang meraihnya sebelum gelap mengaburkan pandangannya.
Ketika kesadaran akhirnya kembali, perlahan-lahan Mai membuka matanya dan melihat sesuatu berwarna hitam mengelilinginya. Dengan segera ia memberontak, takut mengira ia dikelilingi aura jahat sebelum akhirnya ada kedua tangan mencegahnya. Barulah ia tersadar kalau sesuatu itu adalah jubah hitam milik....
Ketika menengadah dan memastikan kebenarannya, jantung Mai mendadak mencelos kuat.
Shibuya Kazuya sedang merangkulnya!
Mai ingin menjerit senang ketika Kazuya malah bertanya untuk kedua kalinya, "Daijoubu?" dan itu menyadarkannya untuk menahan diri, alih-alih menjerit.
Ia akhirnya mengangguk. "Kau sendiri bagaimana, Naru?" Tanya Mai hati-hati. Dia tidak ingin Kazuya melepaskan rangkulannya barang sedetik pun.
"Daijoubu." Kata Shibuya sambil mengamati keadaan sekitar mereka. "Sepertinya ini adalah ruang bawah tanah milik pondok. Aku sudah menduganya. Namun tetap saja aku merasa heran karena saat kita mengunjungi pondok tadi, kita bahkan tidak menemukan pintu ruang bawah tanah. Ternyata pintunya tidak berada di dalam pondok."
"Lalu apa yang terjadi?" Mai bertanya lagi, masih belum mengerti apa yang baru saja menimpa mereka.
"Kau terperosok." Kazuya menunduk dan memandangi Mai dengan tajam. "Sayangnya aku memegang tanganmu dan sesuatu mendorongku. Lalu kita berdua terjatuh."
"Oh... ano... gomen, Naru." Mai merasa tidak enak telah menyusahkan Kazuya. Dulu Mai pernah merusak kamera yang digunakan untuk mengamati rekaman apabila ada pergerakan hantu, dan sebagai ganti rugi telah merusak kamera dan menyebabkan kecelakaan pada Lin, Mai diminta menjadi asisten Kazuya. Mai juga pernah menuduh Kazuya adalah seorang pembunuh lantaran Kazuya ingin melakukan pembalikan kutukan zuzhou. Padahal Kazuya telah memperhitungkan keputusannya tersebut. Namun Mai masih saja sering salah sangka terhadap Kazuya. "Tidak seharusnya kau menggenggam tanganku."
Kazuya menyipitkan kedua matanya sedikit dan menghujamkan pandangan tajam pada Mai. "Dan membiarkanku kehilangan asisten?"
Mai tidak sanggup lagi menatap mata Kazuya yang tajam itu. Rasanya terlalu menyilaukan hingga ia harus memalingkan pandangannya. "Eto..." Kata Mai terbata-bata, mencari alasan. "Bukankah masih ada Lin-san?"
"Meskipun seringkali kau cukup merepotkan," Kazuya mengucapkannya dengan pelan dan penuh penekanan. “Aku masih membutuhkanmu.”
Jawaban itu membuat Mai terkejut dan dengan seketika dia melepaskan diri dari rangkulan Kazuya—dengan berat hati.
Tetapi bagaimana pun juga jawaban itu sedikit menyakitkan. Kazuya terlalu dingin dan Mai mulai putus asa untuk membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Selama ini dia telah menjadi asisten Kazuya hanya karena terkadang dia cukup membantu untuk urusan mendapatkan penglihatan melalui mimpi sampai melakukan perjalanan astral. Mai salah mengira bahwa alasan Kazuya menelponnya di sekolah tempo hari adalah karena Kazuya mulai membutuhkannya. Membutuhkannya dalam artian lebih dari ini. Tetapi... Mai merasa tidak nyaman berdekatan dengan Kazuya lagi setelah mengetahui perasaan Kazuya terhadapnya.
"Jangan terlalu jauh dariku." Ucap Kazuya. Ah, benar. Perasaan Kazuya padanya pastilah tidak lebih dari simbiosis mutualisme dan perkara bisnis. Mai pastilah terlalu terbawa suasana dan berprasangka terlalu jauh akan sikap Kazuya. Seringkali Kazuya menampilkan perangai dingin dan susah dijangkau. Namun di saat-saat seperti ini, ketika mereka terjebak di saluran pembuangan tempo hari, dan ketika Mai terjatuh karena plafon yang reyot—yah, meskipun tampaknya Mai selalu ceroboh, tapi Kazuya selalu tepat berada di sisinya. Seakan-akan Kazuya selalu datang di waktu yang tepat. Ini membuat Mai bertanya-tanya apakah ini merupakan takdir yang digariskan oleh dewa.
Kalau dipikir lebih dalam lagi, Kazuya yang seperti ini persis sama seperti versi Kazuya yang ditemuinya di dalam mimpi. Hangat, ramah, dan murah senyum. Sayangnya Kazuya tidak banyak menunjukkan sisinya yang ini di hadapan banyak orang.
"Baiklah." Jawab Mai sambil mengibaskan kedua tangannya dengan gugup, menyembunyikan pipinya yang mendadak terasa seperti tersengat matahari. Ada baiknya apabila dia menjauhi Kazuya untuk sementara waktu. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar."
Baru saja Mai berjalan dua langkah, Kazuya bertanya, "Dalam kegelapan?" dengan sangsi. "Kau mungkin akan menemukan..."
Belum selesai Kazuya menyelesaikan kalimatnya, dia mendapati tubuh Mai langsung menghambur kembali padanya. Tubuhnya menggigil, campuran dari ketakutan dan kedinginan.
"Jangan menakutiku seperti itu, Naru." Suara Mai terdengar mencicit.
"Daijoubu." Kazuya mengusapkan tangannya di atas kepala Mai dengan perlahan, berusaha menenangkan.
Dipakaikannya kembali jubah hitam miliknya ke tubuh Mai yang sempat terjatuh saat Mai melepaskan rangkulannya. "Kita hanya perlu menunggu sampai hujan berhenti. Setelah itu Lin pasti akan mencariku."
Seakan terperangkap dalam jubah hitam Kazuya, Mai hanya mampu menanggapinya dengan anggukan kecil sambil memejamkan kedua matanya. Ia meresapi perasaan yang melingkupi antara dirinya dan Kazuya dengan seksama. Dimulai dari perdebatan, terjebak dalam ruang bawah tanah, dan rangkulan Kazuya. Semua itu tanpa sengaja membuat Mai bergidik geli. Ada rasa bersalah karena telah berdebat dengan Kazuya dan ada rasa senang yang merayapi hati dan tubuhnya saat Mai menyadari bahwa Kazuya peduli padanya.
"Kau kedinginan?" Tanya Kazuya.
"Eh... iie." Mai berbohong. Tentu saja dia kedinginan, sekaligus hangat. Sebuah sensasi yang membingungkan dan mengejutkan bagi Mai. "Aku hanya penasaran mengapa Naru ingin pulang."
"Karena pekerjaan kita sudah selesai."
"Demo, kita bahkan belum memulai." Bantah Mai. "Yah, Ayako sudah melakukan tugasnya, dakedo—"
"Dan itu sudah cukup." Potong Kazuya datar.
"Bagaimana bisa?"
Kazuya baru saja membuka mulut, ingin menjelaskan ketika mereka merasakan ada pasir dari langit-langit ruang bawah tanah yang berjatuhan.
Tubuh Mai terlihat semakin menciut karena ketakutan. "Apakah bangunan di atasnya akan runtuh?"
Kemudian dengan sigap Kazuya semakin merapatkan rangkulannya di sekitar lengan Mai. "Tetaplah di dekatku."
Lalu mereka mendengar ada suara batu bergeser dan sebuah suara mengejutkan mereka.
"Bagaimana kalian bisa terjebak di sana?" Masako bertanya penuh selidik. Ia berpikir kalau Mai telah merencanakan momen tersebut agar bisa berduaan dengan Kazuya. "Apa kalian menemukan sesuatu?"
"Iie." Jawab Kazuya. "Hanya ruang bawah kosong yang tak pernah ditempati."
Semua mata menatap Kazuya. Mereka menunggu penjelasannya setelah terkurung dalam ruang bawah tanah.
Lin memberikan teh hangat pada Kazuya. "Kau yakin tak menemukan sesuatu di sana?"
Kazuya menerima cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Kemudian dia menatap Lin. "Lin." Katanya dengan suara tegas. "Coba pastikan sekali lagi apa ada perubahan suhu di ruang bawah tanah."
Dengan segera Lin pergi ke layar monitor. Dia mengamati grafik perubahan suhu, tapi dia tidak menemukan adanya perubahan suhu ruangan secara signifikan selama sejam terakhir sejak ditemukannya ruangan bawah tanah itu. "Tidak ada apa-apa."
Kazuya meletakkan cangkirnya. "Sou ka." Dia terlihat berpikir sebentar sebelum menoleh ke Mai dan bertanya, "Mai, tidakkah kau melihat sesuatu yang aneh di ruang bawah tanah? Bisakah kau melihat dengan baik dalam kegelapan?"
"Eh, iie." Mai menggeleng. Dia terlalu sibuk dengan degup jantungnya dan ketakutan akan kegelapan, sehingga Mai tidak sempat untuk memperhatikan jika bahkan ada tikus yang ikut bersembunyi bersama mereka. "Aku tidak melihat apa-apa.” Namun karena dia tidak ingin terlalu membuat Kazuya kesal, dia mencoba mengais-ngais ingatannya dan akhirnya mengatakan, “Demo... sepertinya aku melihat sesuatu saat Lin datang karena ada pencahayaan yang cukup.” Melihat ekspresi Kazuya yang tidak puas, cepat-cepat Mai menambahkan, “Demo... gomen ne, Naru. Yappari sore wa wakaranai deshita."
"Aku melihatnya." Sahut Kazuya. "Itu adalah sebuah alat pemutar piringan hitam. Lin dan aku sempat memasang mikrofon dan kamera di sana setelah kita ditemukan untuk memantau kondisi di sana.”
Semua tampak tertegun mendengar penjelasan Kazuya. Mereka tak sabar menunggu kelanjutan kisah penyelidikan tersebut. “Teriakan wanita selama ini adalah suara yang dimainkan oleh piringan hitam itu untuk menakut-nakuti orang-orang di sekitar pulau, termasuk pemiliknya, keluarga Watanabe. Pasangan Takahashi adalah pelaku di balik teror tersebut. Mereka berharap dengan menyebarkan cerita seram seperti itu akan membuat keluarga Watanabe ketakutan dan menjual pulaunya atau bahkan memberikannya dengan cuma-cuma kepada mereka.”
“Lagipula aku juga tidak merasakan apapun tentang arwah.” Suara Masako mengagetkan semua yang sedang diselubungi suasana serius. Dirinya baru saja berkeliling pulau untuk yang kedua kalinya, berdiri di dekat pintu dengan kimono merahnya menguatkan cerita Kazuya.
“Kalau begitu kita harus panggil polisi sebelum mereka kabur.” Kata Ayako yang kemudian dijawab oleh Kazuya cepat. “Aku sudah memanggil mereka.”
“Hmm, baiklah.” John yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. “Bisa dikatakan tugas kita selesai di pulau ini. Aku harus ke Australia dalam waktu dekat.”
“Aku tidak punya partner lagi, dong.” Bou-san menampilkan ekspresi sedih di wajahnya. Tentu saja hanya bercanda.
John tergelak. “Aku akan kembali.”
Polisi datang tak lama kemudian. Pasangan Takahashi tersebut akhirnya dibekuk. Terkuak misteri lebih dalam tentang kematian tukang kebun yang sebelumnya diduga jatuh karena badai.
Ternyata sebenarnya pasangan Takahashi lah yang mendorong tukang kebun tersebut. Dari kematian tersebut, mereka kemudian memulai rumor bahwa tukang kebun tersebut berubah menjadi arwah gentayangan yang membuat pulau tersebut menjadi angker. Dengan rumor tersebut, mereka berharap keluarga Watanabe akan mengabaikan pulau tersebut dan berpikir tidak ada gunanya untuk menjual pulau karena tidak akan ada orang yang berminat untuk membeli pulau berhantu.
Kemudian, pasangan Takahashi akan memiliki pulau itu untuk diri mereka sendiri dan berencana memonetisasi pulau angker tersebut untuk tujuan pribadi mereka.
Menjadi semakin jelas bagi tim SPR Kazuya bahwa pelaku yang mendorong Kazuya jatuh ke bawah tanah adalah pasangan Takahashi.
Mereka sempat memohon-mohon pada keluarga Watanabe dan meminta maaf, tetapi keluarga Watanabe malah mengibaskan tangannya, terlalu jijik dan telanjur jengah. Di lain sisi, keluarga Watanabe memperlakukan tim SPR Kazuya dengan ramah dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Mai menghampiri Kazuya yang berjalan beriringan dengan Lin sementara Ayako, Masako, Bou-san dan John sudah berjalan mendahului ke dermaga.
“Naru.” Mai memanggil Kazuya.
Kazuya menoleh ke asal suara dengan tatapan dingin, tidak mengucapkan apa pun.
Dalam hati Mai memaki Kazuya yang kembali bersikap dingin padanya. Di depan banyak orang, Kazuya selalu konsisten berperilaku dingin, tetapi Mai merasa sikapnya lebih dingin kepadanya.
“Eto... maukah kau berjalan-jalan sebentar denganku?” Mai bertanya dengan hati-hati. “Naru pernah mengiyakan ajakan Masako, jadi apakah mau denganku?”
Kazuya menoleh tanpa ekspresi. “Iie.” Jawabnya pendek sebelum memalingkan mukanya dari Mai.
Alis Mai berkerut-kerut heran. Tentunya dia sudah tahu Kazuya akan berkata seperti itu. Baka da na, pikirnya. Seharusnya Mai juga tahu kalau Kazuya tidak akan pernah membalas perasaannya. Kejadian di ruang bawah tanah pasti hanyalah mimpi, seperti mimpi-mimpi lainnya yang sering dia alami ketika hanya ada Kazuya dan dirinya.
****
Fanfiction was originally made and finished at January 7th 2016.
Copyright © 2025 Ohyouka. Kindly honor the owner by refraining from quoting any portion or more of the blog's content without their consent.

Comments
Post a Comment