Terkadang mungkin akan menyenangkan menjadi ombak. Kau ditakuti, kau disayangi. Ketika kau meliuk-meliuk indah, kau disayangi. Kau menyenangkan para peselancar. Ketika kau marah, kau ganas. Kau ditakuti. Kau dapat menghantam bebatuan karang, pantai, apa saja. Tak ada yang menyalahkanmu. Mereka akan menyalahkan cuaca, tentu saja.
Aku dulunya berpikir kalau kami akan berjuang dan bertahan bersama sampai aku melihat satu per satu teman-teman seperjuanganku tumbang. Dan aku mulai berpikir...akankah aku berakhir seperti mereka?
Ini seharusnya tidak terjadi, kan? Semuanya mengalir terlalu cepat bagaikan air yang menggerus tanah di saat hujan menyapu permukaan terjal. Seperti itulah kebahagian tersapu oleh sesuatu yang paling ingin kau enyahkan dari ingatanmu sepanjang masa.
Di saat aku mulai membangun kembali rumah dari puing-puing angin topan yang membuatku tak sadarkan diri hingga dua belas bulan, di saat aku mulai menata kecerian, tawa, dan kesedihan pada tempatnya masing-masing, di saat aku mulai merencanakan apa yang aku lakukan mendatang dengan segala yang baru, aku menemukan bahwa dia menyeruak kembali. Dari kegelapan terdalam sosoknya terlihat tidak memperdulikanku. Tetapi aku yang memperdulikannya. Atau lebih tepatnya bertanya-tanya, "Mengapa harus kembali di puncak kebahagianku?"
Di saat aku mulai membangun kembali rumah dari puing-puing angin topan yang membuatku tak sadarkan diri hingga dua belas bulan, di saat aku mulai menata kecerian, tawa, dan kesedihan pada tempatnya masing-masing, di saat aku mulai merencanakan apa yang aku lakukan mendatang dengan segala yang baru, aku menemukan bahwa dia menyeruak kembali. Dari kegelapan terdalam sosoknya terlihat tidak memperdulikanku. Tetapi aku yang memperdulikannya. Atau lebih tepatnya bertanya-tanya, "Mengapa harus kembali di puncak kebahagianku?"
Kemudian aku disadarkan bahwa roda manusia selalu berputar. Mungkin aku pula yang kelewat bahagia tanpa mengantisipasi sosoknya yang kapan saja bisa muncul.
Entah mengapa sejak dia menyumbat penglihatan dan pendengaranku baru-baru ini, aku jadi makin sering melihatnya dan ini membuatku paranoid setengah mati. Dia tidak mengejarku. Tapi secara psikologis dia melakukannya. Di mana-mana aku membaca namanya, melihat sosoknya, bahkan suaranya.
Haruskah aku kembali ke masa lalu ketika aku bahagia atas apa yang telah aku lakukan?
*****
Hai, Kroasia. Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini? Ini pertama kalinya aku menulis tentangmu. Kupikir ini bukan ide yang buruk. Dan kuharap kau menyukainya. Cerita ini tentang bagaimana aku mengenalmu. Mungkin aku mendengarmu pertama kali di kelas 6 di pelajaran IPS. Aku juga sempat mendengarmu saat menonton film Vertigo. Tapi aku tidak menyangka akan mendengarmu lebih jauh saat ada seseorang yang mengatakan kalau dirinya berasal dari negaramu.
Dan
ketika momen itu datang, aku bahkan melihat kalau tidak hanya bibirnya saja
yang tersenyum--matanya juga.
"Hai." Sapanya ceria.
Aku memandangnya kagum sambil tersenyum. "Hai." balasku dengan nada yang tak kalah ceria. "Lama tak berjumpa."
Entah apa ada yang salah dengan suaraku tapi cowok yang sedang berdiri di hadapanku tiba-tiba tertawa--betapa aku menyukai tawanya yang begitu renyah sampai kucoba meresapinya perlahan--lalu aku menelengkan kepalaku sebagai ganti dari, "Apa?" untuk bertanya mengapa dia tertawa.
Terkadang kita sulit membedakan antara ketakutan paranoid dan intuisi buruk kita.
1. Saat Aku Menginginkannya
Karena aku bukanlah tipe anak yang mendengarkan musik setiap saat. Aku jarang mendengarkan musik saat sedang sedih karena itu tidak membantu sama sekali, yang ada malah bisa memperburuk suasana hati. Tapi ada kalanya aku mendengarkan musik saat sedih. Itu terjadi kalau aku sedang sangat melankolis. Tapi di menit selanjutnya aku bisa saja berhenti mendengarkan musik dan berkata, "Sudah cukup bersedihnya" dan bangun untuk bersenang kembali.
2. Saat Suasana Hatiku Sedang Berada di Tengah-Tengah
Aku senang melihatnya di sekolah pagi ini setalah beberapa minggu tak bertemu.
Tapi sepertinya tidak ada hormon adrenalin yang memacu detak jantungku atau dendrit-dendrit yang saling berhubungan dan menimbulkan sengatan listrik atau sebangsanya dan merampas oksigen sehingga membuatku sulit bernapas.
Tidak.
Aku pikir aku tidak merasakannya lagi.
Menurutku hormon oksitosin ini labil sekali.
"Mendung. Sepertinya hujan akan segera turun."
Aku menoleh ke arah sumber suara di sampingku. "Eh?"
"Itu." Katanya sambil menunjuk wajahku. "Airnya sudah mengambang dan sepertinya mau tumpah."
Aku menoleh ke arah sumber suara di sampingku. "Eh?"
"Itu." Katanya sambil menunjuk wajahku. "Airnya sudah mengambang dan sepertinya mau tumpah."
Jujur saja, kalau mereka menganggapku sebagai penggemar fanatiknya band Aozora, jelas mereka salah besar.
Aku tidak merasa kalau aku adalah penggemar fanatiknya. Aku tidak menganggap
mematai-matai Ame sang pianis dari tong sampah depan rumahnya sebagai hal yang
keterlaluan. Menunggu kedatangan mereka di bandara dari dua hari sebelumnya
juga tidak bisa dianggap berlebihan, hingga menyingkirkan orang-orang yang
menghalangi jalanku untuk selalu dekat dengan Aozora. Itu semua adalah hal yang
biasa buatku.
Tapi tidak ada yang memercayai kata-kataku. Daripada aku
berteriak tidak jelas membela pemikiranku dan menghabiskan energiku untuk
memberikan penjelasan kepada mereka, aku akan membungkam mulut mereka dengan
caraku sendiri saja. Akan kutunjukkan kalau cintaku pada Aozora itu murni dan
aku tidak suka dengan istilah penggemar fanatik. Pokoknya aku bukan penggemar
fanatiknya. Aku selalu merasa kalau aku dilahirkan untuk selalu menjaga Aozora.
Sejak pertama kali aku menemukan Aozora, aku langsung mengerti ke mana jalan
hidup akan membawaku.
Kalian harus mendengar ceritaku saat aku berusaha mengamankan toilet karena Niji sang vokalis sedang berada di dalamnya. Untungnya toilet sedang dalam keadaan sepi dan tidak ada orang, Niji tidak perlu khawatir akan orang yang berniat membunuhnya. Namun tugasku sebagai orang yang akan selalu menjaga Aozora benar-benar dipertaruhkan di sini. Rasanya benar-benar mendebarkan sampai aku takut Niji mampu mendengar degupan jantungku yang sepertinya bisa melampaui permainan drum Boufuu sang drummer Aozora. Tapi dalam keadaan seperti itu aku tidak boleh terlihat lembek. Dengan berdiri gagah dan kedua tangan bersedekap di dada, aku menjadi penjaga pintu yang tangguh bagi Niji. Oh, Niji pasti sangat senang sekali memiliki penggemar sekaligus penjaga seperti aku.
Kalian harus mendengar ceritaku saat aku berusaha mengamankan toilet karena Niji sang vokalis sedang berada di dalamnya. Untungnya toilet sedang dalam keadaan sepi dan tidak ada orang, Niji tidak perlu khawatir akan orang yang berniat membunuhnya. Namun tugasku sebagai orang yang akan selalu menjaga Aozora benar-benar dipertaruhkan di sini. Rasanya benar-benar mendebarkan sampai aku takut Niji mampu mendengar degupan jantungku yang sepertinya bisa melampaui permainan drum Boufuu sang drummer Aozora. Tapi dalam keadaan seperti itu aku tidak boleh terlihat lembek. Dengan berdiri gagah dan kedua tangan bersedekap di dada, aku menjadi penjaga pintu yang tangguh bagi Niji. Oh, Niji pasti sangat senang sekali memiliki penggemar sekaligus penjaga seperti aku.
Saat aku melihat sedikit saja gelagat aneh di sekitar toilet, aku
akan mengarahkan pandanganku ke arah itu dengan cermat. “Hei, mau sampai berapa
lama kau menahan kami di depan toilet?
Kami sudah kebelet, nih.”
“Tidak akan kubiarkan kalian masuk.” Kataku tegas. “Sampai Niji keluar.”
“Cih, memangnya kamu siapa?” Tantang seseorang yang berjalan
mendekat ke arahku. “Kamu, kan, bukan bodyguard-nya si personel Aozora
itu. Jangan sok berlagak, deh.”
Dan saat itu pula terdengar suara hunusan pisau. Detik kemudian
darah mengucur dengan deras dari leher yang telah terbelah dengan kepala orang
yang sudah berani menantangku dan meremehkan harga diriku.
“Aku tidak suka disebut bodyguard.” Kataku dingin. “Karena aku
bukan bodyguard yang dibayar untuk menjaga Niji ataupun Aozora. Aku adalah
penjaga Aozora—“
“Sama saja, tahu!” Ada sebuah suara yang menyahut entah dari mana.”Bodyguard,
kan, bahasa inggrisnya dari penjaga.”
“Beda!” Suaraku meninggi sedikit namun tetap dingin. Aku harus
menjaga suaraku sedingin mungkin untuk mempertahankan image menakutkan
ini. “Aku melakukannya dengan sepenuh hati. Dan aku....”
Aku berhenti sejenak untuk memberi kesan penegasan di setiap
kata-kataku ini. “Aku bukan penggemar fanatiknya.”
****
5 Juni 2015 7:25 PM
Kupikir ada yang aneh ketika aku menatap bintang-bintang di kedua matanya--membuatku bertanya ke mana dendrit-dendrit pada neuron yang selalu bergandengan pergi. Kupikir mereka akan selalu ada di sepanjang aliran darahku bersama dengan hormon adrenalin di mana mereka akan menciptakan sensasi yang sulit untuk kujelaskan, kalau kau mengerti maksudku. Sensasi ini kupikir akan muncul begitu aku menemukannya.
Tapi sedihnya, aku tidak bisa menciptakan sensasi itu sesulit apapun aku berusaha memanipulasinya. Sehingga seberapa sulitpun aku mencoba meloloskan benang merah yang membelenggu, aku tahu pasti aku akan gagal lagi dan lagi. Jadi kupikir tidak ada bedanya antara menjadi bebas dan tidak. Dan pada akhirnya aku memilih untuk tetap terbelenggu oleh benang merah itu karena--well itu tempat di mana seharusnya aku berada. Tempat yang membuatku merasa seperti di rumah. Tempat yang membuatku nyaman dan aman.
Dan tempat di mana aku bisa menemukan bintang-bintang bersinar yang sesungguhnya.
****
27 Januari 2014 9:26 PM
Inilah saatnya
Bagi kita 'tuk berpisah
Jauh jauh jauh
Aku takkan melihatmu lagi
Pergi pergi pergi
Semua tentang kita
Akan memudar dalam lembaran waktu
Bagi kita 'tuk berpisah
Jauh jauh jauh
Aku takkan melihatmu lagi
Pergi pergi pergi
Semua tentang kita
Akan memudar dalam lembaran waktu
Duh Gusti
Apalagi ini
Apalah arti kiriman karangan bunga
Jikalau ia membawa aroma
Merongrong hidungku
Menguar di seluruh penjuru kamarku
Menebar pesona ia di dalam aliran darahku
Duh Gusti
Tarik saja aku dalam jeratan duri-durinya
Ikat aku
Masukkan dalam kantung lembaganya
Biar sukmaku tenggelam dalam cairan asamnya
Ketika sari dan putik bertemu
Antara kelabu dan abu
Tidak ada lagi bedanya
Dan Gusti
'Pabila Engkau kirimkan karangan bunga
Nan semerbak mewangi
Hingga wanginya mencekik paru-paruku
Hingga wanginya merusak jaringan otakku
Mengambil alih untuk berbaik-baik saja
Maka akan bagus untukku
Maka aku berterima kasih pada-Mu
19 Februari 2015 7:13 PM
Ditengah kejenuhan atas semuanya.
-Hyouka-
Apalagi ini
Apalah arti kiriman karangan bunga
Jikalau ia membawa aroma
Merongrong hidungku
Menguar di seluruh penjuru kamarku
Menebar pesona ia di dalam aliran darahku
Duh Gusti
Tarik saja aku dalam jeratan duri-durinya
Ikat aku
Masukkan dalam kantung lembaganya
Biar sukmaku tenggelam dalam cairan asamnya
Ketika sari dan putik bertemu
Antara kelabu dan abu
Tidak ada lagi bedanya
Dan Gusti
'Pabila Engkau kirimkan karangan bunga
Nan semerbak mewangi
Hingga wanginya mencekik paru-paruku
Hingga wanginya merusak jaringan otakku
Mengambil alih untuk berbaik-baik saja
Maka akan bagus untukku
Maka aku berterima kasih pada-Mu
19 Februari 2015 7:13 PM
Ditengah kejenuhan atas semuanya.
-Hyouka-
Senang rasanya bisa (mulai) menulis lagi setelah hiatus
sekian abad. Rasanya seperti selamanya sampai menunggu hari UNAS selesai.
Nyaris kehilangan suaraku kalau aku tidak mulai menulis lagi. Dan membaca.
Itulah masalahnya. Aku tidak boleh membaca novel setahun penuh oleh Mamaku. Apa
boleh buat? Aku sudah berjanji TIDAK AKAN membaca novel dan kali ini aku harus menepatinya.
Kurasa akhirnya janji itu juga membuahkan hasil.
Karena aku sendiri bingung ingin menulis apa, awalnya aku
hanya menulis asal-asalan tentang ini, tapi, hei, tiba-tiba muncul secercah ide
tentang permainan otak. Mungkin aku bisa mengasah kemampuan menulisku lagi
sedikit demi sedikit dari sini.
Dan ini tulisan terjelek (tapi bukan berarti tulisanku
ada yang terlalu bagus juga, sih) yang kubuat Desember 2014 lalu di
aplikasi Write di ponselku. Kurang pas menulis di ponsel dengan papan ketik
qwerty yang kecil-kecil saat ide di kepala sudah nyaris meledak. Alih-alih aku
harus mengetik cepat, aku malah mengetik dengan dua jari. Benar-benar payah.
Mengetik di laptop juga tidak bisa leluasa karena Mama sudah siap-siap saja
bertanya, "Lagi ngapain?" yang kemudian dilanjut dengan pernyataan,
"Jangan nonton anime terus. Belajar sana lho."
Ya sudah, deh, daripada aku terlalu banyak cerita hal
yang tidak penting, lebih baik kita mulai saja bacaan kali ini. Dalam Mind
Game, kita akan diberikan satu bacaan yang mana berakhiran ganjil. Aku
mendapatkan inspirasi ini sudah sejak bulan November 2014 sebenarnya ketika
temanku memakai tema "Apa Kamu Berbakat Menjadi Psikopat?" untuk
lomba mading 2D yang diadakan oleh DetEksi Jawa Pos di Mall Pakuwon Indah,
Surabaya. Dan jujur saja aku tertarik sekali membaca setiap cerita pendek yang
disajikan dia dan tim kreatifnnya. Lalu aku berpikir, sepertinya menyenangkan
juga membuat cerita semacam itu. Jadi, aku coba saja menulis dan tulisan
pertama ini memang tidak bagus, tapi aku ingin mengabadikan semua perkembangan
menulisku. Itu saja kok.