Sumber: Unsplash |
Hai! Aku menemukan buku bagus. Tiba-tiba saja arah mata angin mood aku di minggu ini ingin membaca buku non fiksi. Aku baru saja menamatkan buku When Things Don't Go Your Way, kemudian aku langsung teringat dengan buku ini.
Jadi buku ini berjudul A Hustle Cure: A New Approach to Burnout and Productivity for Women yang ditulis oleh Sophie Cliff. Penulis mengungkapkan bahwa kebanyakan buku produktivitas ditulis oleh penulis pria. Jarang sekali penulis menemukan cara menjaga produktivitas, sembari tetap menjaga kewarasan yang ditulis oleh penulis perempuan. Penulis menunjukkan bahwa kebanyakan buku produktivitas ditulis oleh pria, sehingga jarang ada panduan yang benar-benar memahami mental load perempuan—sebagai istri, ibu, dan individu yang harus memenuhi ekspektasi sosial. Buku ini menawarkan cara praktis menjaga produktivitas sambil tetap menjaga diri sendiri.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Maka dari itu, postingan tentang isi dan review buku ini pun akan dibagi menjadi 3 bagian, atau mungkin lebih.
Women are expected to give endlessly to others, even when struggling with stress, social anxiety, or depression, leaving little time and space to explore their emotions, needs, and desires.
Sibuk tidak menjadi standar kebahagiaan. Kita sering berpikir bahwa kita akan bahagia setelah mencapai tujuan A, B, C—hingga tanpa sadar tujuan kita tidak ada habisnya.
Seringkali kita terjebak dalam lingkaran negatif: berlari mengejar hal berikutnya yang kita kira akan membuat bahagia, sambil melewatkan kebahagiaan yang ada di sini dan sekarang. Gagasan bahwa suatu hari nanti kita akan “memiliki segalanya” dan hidup bahagia selamanya hanyalah ilusi. Sementara kita sibuk mengejar pencapaian, momen-momen bahagia yang seharusnya bisa dinikmati hilang begitu saja.
Jika tujuan kita adalah bahagia, kita perlu memprioritaskan kebahagiaan saat ini daripada mengorbankannya demi mengejar lebih banyak pencapaian.
Jika kita selalu menomorsatukan produktivitas dibanding kebutuhan dasar—seperti tidur atau waktu bersama orang-orang tercinta—burnout menjadi hampir tak terhindarkan. Meski sering terjadi, dampaknya serius, terutama pada rasa percaya diri. Kita cenderung melihat apa yang belum tercapai, bukan apa yang sudah kita lakukan, dan rasa takut tertinggal bisa membuat kita melewatkan waktu pemulihan yang penting. Hasilnya, terbentuk siklus negatif: merasa kehilangan kontrol, energi habis, optimisme menipis, dan terjebak dalam rutinitas yang sulit dipecahkan.
Coba jawab pertanyaan jurnal berikut ini untuk meninjau bagaimana kesibukan membentuk hidupmu, dan untuk mengenal dirimu di luar semua pencapaian yang pernah kamu raih.
- Peran kesibukan seperti apa yang ada dalam hidupmu sejauh ini?
- Bagaimana perasaanmu ketika kamu lebih sibuk daripada kapasitas yang kamu miliki?
- Apakah kamu pernah mengalami “arrival fallacy” (kesalahan berpikir bahwa kebahagiaan datang setelah mencapai sesuatu)? Tuliskan apa yang terjadi dan bagaimana perasaanmu saat itu.
- Bagaimana ekspektasi sosial bahwa perempuan harus “memiliki segalanya” memengaruhi hubunganmu dengan produktivitas dan kebahagiaan?
- Dalam hal apa saja kamu merasa ditekan untuk menjadi “perempuan sempurna”—sebagai ibu, istri, karyawan, teman, anak, atau peran lainnya? Bagaimana hal ini memengaruhi kesehatan mental, identitas, atau kesejahteraanmu?
- Pernahkah kamu merasa bersalah karena meluangkan waktu untuk dirimu sendiri atau memprioritaskan perawatan diri? Menurutmu, mengapa bisa begitu?
- Pernahkah kamu membandingkan dirimu dengan perempuan lain yang tampak bisa melakukan segalanya? Bagaimana perasaanmu saat itu, dan menurutmu seperti apa kenyataan di balik kehidupan “sempurna” mereka?
- Apa yang penting bagimu selain pencapaian? Apa yang membuatmu menjadi dirimu sendiri tanpa harus terkait dengan melakukan sesuatu?
- Saat masih kecil, hal apa yang membuatmu merasa bahagia? Apakah melihat kembali hal itu memberi inspirasi untuk menemukan lebih banyak kebahagiaan saat dewasa?
- Apa yang akan membaik dalam hidupmu jika kamu memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang memberimu kegembiraan?
Sekarang, setelah merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas, kita menyadari bahwa diri kita dibentuk oleh pengalaman, lingkungan, dan komunitas yang berbeda, yang memengaruhi cara kita hadir di dunia. Dengan menyempatkan diri merenung tentang keyakinan kita, kita bisa mengetahui dari mana asalnya dan memutuskan dengan sadar apakah ingin tetap memegangnya.
Coba gunakan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini untuk merenungkan keyakinanmu tentang produktivitas:
- Apa yang diajarkan atau ditunjukkan kepadamu tentang produktivitas saat kamu masih kecil? Misalnya, seberapa sering kamu melihat orang tua atau pengasuhmu bersantai? Apakah kamu diberi penghargaan jika menyelesaikan pekerjaan dengan cepat di sekolah, dan jika ya, apa bentuk penghargaan itu?
- Pesan apa yang kamu terima saat tumbuh dewasa tentang apa artinya menjadi “perempuan sukses”?
- Dari mana asal doronganmu untuk produktif? Pikirkan pemicu spesifik yang mungkin kamu miliki—misalnya, mungkin uang terasa selalu terbatas dalam hidupmu dan kamu percaya jika melambat, keamanan finansialmu akan terancam.
- Apakah kamu mengambil keyakinan tertentu tentang seperti apa produktivitas seharusnya untuk seorang perempuan? Apakah tekanan untuk tampil dengan cara tertentu memengaruhi keyakinanmu? Atau mungkin kamu merasa tertekan untuk mencapai hal-hal tertentu agar bisa menunjukkan kepada perempuan lain apa yang mungkin dicapai.
- Bagaimana berbagai peran dan tanggung jawabmu sebagai perempuan—misalnya sebagai pengasuh, ibu rumah tangga, atau pencari nafkah—mempengaruhi persepsimu tentang produktivitas dan kesuksesan?
- Apakah keyakinanmu tentang produktivitas dan kebahagiaan saling terkait? Misalnya, apakah kamu percaya bahwa kamu hanya pantas merasakan kebahagiaan setelah mencapai tujuan tertentu?
- Apakah ada keyakinan tentang produktivitas yang justru menghalangi kebahagiaan dan kesenanganmu? Misalnya, apakah doronganmu untuk menjadi ibu sempurna yang melakukan segalanya justru membuatmu kurang hadir bersama anakmu?
- Pernahkah kamu merasa tertekan untuk merendahkan ambisi atau pencapaianmu agar sesuai dengan ekspektasi sosial terhadap perempuan? Bagaimana hal itu memengaruhi hubunganmu dengan produktivitas dan kesuksesan?
- Sebagai perempuan, apakah kamu pernah merasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan diri atau agar dianggap serius? Bagaimana hal itu memengaruhi cara kamu menjalani produktivitas?
- Pernahkah kamu berjuang dengan keyakinan bahwa nilai dirimu sebagai perempuan terkait dengan produktivitas atau pencapaianmu? Menurutmu, dari mana keyakinan itu berasal?
- Bagaimana stereotipe “superwoman” (gagasan bahwa perempuan harus bisa mengelola karier, keluarga, dan kehidupan pribadi secara mulus) memengaruhi keyakinanmu tentang produktivitas dan harga diri?
- Buatlah daftar keyakinan yang ingin kamu lepaskan. Kemudian pikirkan keyakinan baru yang mungkin menggantikannya. Misalnya, kamu bisa mengganti “Aku akan bahagia ketika …” dengan “Kebahagiaan tersedia untukku sekarang jika aku melambat cukup untuk merasakannya.”
- Meskipun teknologi terus berkembang, hidup kita terasa semakin sibuk, dan tekanan untuk terus berprestasi terasa sangat besar. Banyak dari kita yang kesulitan menyeimbangkan segalanya, sehingga kebahagiaan sering tersingkir di urutan terakhir daftar aktivitas.
- Dalam upaya meningkatkan produktivitas, kita cenderung mencari jawaban dari sumber luar daripada mengandalkan pengetahuan dan intuisi dari dalam diri kita sendiri. Akibatnya, kita mudah mengalami kelelahan atau terjebak dalam siklus rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
- Definisi produktivitas yang kita pegang tidak selalu dibentuk secara sadar, padahal hal ini bisa menghalangi kita untuk memprioritaskan hal-hal yang benar-benar penting bagi diri kita.
Jadi, bagaimana menurutmu? Semoga postingan ini bisa memberi sedikit pencerahan dan manfaat untukmu. Sampai bertemu lagi di cerita berikutnya!
Comments
Post a Comment