![]() |
Sumber: Unsplash |
Sometimes it's just for a season.
Ini memang tidak akan pernah berhasil. Aku tahu itu, tetapi hal yang sama terulang lagi.
Aku seharusnya pergi ketika sebuah era telah berakhir. Jalan ini hanya semakin sulit dan tanpa usaha, semuanya akan sia-sia.
Lima tahun yang lalu, aku bertemu Sam di universitas, tepat di tahun keduaku. Saat kami mulai bersama, Sam sudah berada di tahun ketiga. Dari pengakuannya kudengar bahwa Sam sudah mengamatiku sejak aku masih di tahun pertama di kegiatan orientasi mahasiswa. Aku tidak menyadarinya. Tidak sampai di bulan keempat sebelum periode ujian akhir semester. Sam dan aku ternyata sekelas di mata kuliah X. Aku jelas tidak pernah benar-benar menyadari eksistensinya. Bagiku Sam sama seperti mahasiswa lainnya.
Mungkin takdir sedang memihak Sam karena kami dipasangkan dalam tugas proyek akhir. Sisanya adalah sejarah. Selanjutnya, yah, seperti yang kamu lihat, kami menjadi tak terpisahkan.
Sampai di sini semuanya berjalan klise seperti kisah-kisah romansa kebanyakan orang. Bahkan sampai ketika jalanan mulai menukik tajam dan kemudian meluncur di atas batas normal—semuanya menjadi terlalu terlambat untuk diselamatkan.
Begitu kami lulus dari universitas, Sam kembali ke kota asalnya. Lalu dia mendapat pekerjaan. Namun pekerjaan mengharuskannya untuk bekerja secara penuh di tempat asal pekerjaannya berada—Jerman. Awalnya, kupikir kami masih bisa berusaha. Bukankah inti dari sebuah hubungan adalah komunikasi? Kami hanya perlu menjaganya.
Semasa kuliah, Sam selalu memintaku mengirimkan foto terkini setiap kali kami tak bersama. Ketika aku sedang di kendaraan umum, aku akan selalu mengirimkan fotoku lengkap dengan keterangan aku sedang berada di mana. Ketika aku sedang makan, ketika aku sedang menonton film dengan teman-teman di bioskop, aku tidak pernah absen mengirimkan kabar.
Aku pernah sekali lupa memberikan kabar dalam waktu dua jam dan Sam langsung membombardirku dengan pesan dan panggilan tak terjawab. Aku tidak ke mana-mana. Aku baru saja pulang dari rapat organisasi. Saat itu sudah pukul sebelas malam dan hari menstruasi pertamaku. Aku lupa harus mengabarkan pada Sam bahwa aku sudah sampai rumah. Aku bahkan belum sempat menghapus riasan wajah dan mandi. Aku langsung merebahkan diri di atas ranjang. Lima menit saja dulu, kataku.
Lima menit yang tumbuh menjadi dua jam. Kedua mataku langsung membuka nyalang. Aku loncat dari ranjang seolah ada ular yang merambati tubuhku. Hal pertama yang langsung kulakukan adalah mencari ponselku.
Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab bergulir di layar ponselku. Tidak, tidak. Sam bukan orang penuntut dan pemarah. Dia tidak pernah melarangku untuk berteman dengan siapa saja. Dia tidak banyak menuntut. Yang ia harapkan sebenarnya cukup sederhana: hadir sepenuhnya saat kami sedang bersama, tanpa distraksi dan tanpa jeda kabar. Itulah caranya untuk merasa dekat.
Sam tidak marah begitu aku membalas pesan dan menjelaskan semuanya. Hanya beberapa detik setelah aku membalas pesan-pesannya yang bernada khawatir, Sam langsung menelponku. Terdengar helaaan napas panjang dan kelegaan di suaranya.
Sam tidak marah. Dia tidak pernah benar-benar marah. Kemarahannya hanya muncul saat aku telat memberi kabar. Kupikir itu hal yang wajar dan masuk akal. Ketika seseorang menganggapmu penting, tentu menjadi barang lumrah jika mereka khawatir saat kamu menghilang tanpa kabar.
Kini setelah kupikir lamat-lamat, Sam adalah pasanganku yang paling pengertian.
Dari semua mantan kekasihku, dialah yang paling baik.
Namun sayangnya bahkan hubungan sebaik itu pun memiliki masa kadaluwarsa.
Sementara Sam bekerja di Jerman, aku diterima kerja di perusahaan multinasional sebagai Manajement Trainee. Selama lima bulan pertama, hari-hariku dipenuhi pelatihan dari pukul delapan pagi hingga lima sore. Aku bertemu banyak wajah baru dari berbagai universitas. Setelah kelas pelatihan, kami sering berkumpul untuk mempelajari ulang materi yang baru atau telah dipelajari sepanjang minggu. Di akhir minggu, akan ada post-test, sehingga kami perlu mengumpulkan materi dan mengingat soal-soal dari daily test yang kemungkinan besar akan muncul kembali.
Selama beberapa waktu lamanya, setelah kami mulai menjalankan hubungan jarak jauh, Sam dan aku mampu mempertahankan hubungan kami dengan komunikasi yang rutin. Meskipun perbedaan waktu kami adalah lima jam—dan begitu bulan memasuki musim dingin, waktu menjadi lebih panjang satu jam—Sam tetap menjaga komunikasinya denganku. Meskipun itu berarti di tempatnya sudah dini hari, Sam masih mengucapkan sapaan selamat pagi untukku.
Di akhir minggu kami menghabiskan waktu yang panjang bersama-sama. Kami biasanya akan menonton film atau serial di Netflix dengan cara sama-sama menekan tombol play bersamaan sembari melakukan panggilan video. Kami juga sering melakukan panggilan video dengan suara yang dimatikan di kedua sisi, saling menemani saat menjalani aktivitas masing-masing.
Sejujurnya, aku masih mencoba memahami kapan semuanya mulai salah.
Sam mulai mencurigai bahwa aku selingkuh karena kabar dariku mulai datang terlambat. Aku sudah berusaha menjelaskan padanya bahwa pekerjaan baruku menyita cukup banyak waktu dan aku tidak boleh terlalu sering terlihat sedang bermain ponsel. Namun aku pun mulai mencurigai Sam. Penyakit Sam dari dulu semakin menjadi-jadi saja.
Saat itulah aku juga mulai membaca: seseorang bisa memainkan kartu itu. Kamu akan menuduh pasanganmu selingkuh hanya untuk menutupi perbuatanmu yang sesungguhnya. Kurasa itulah persisnya yang terjadi pada Sam.
Jangan menyangkal. Perempuan-perempuan Eropa pasti lebih cantik dan pintar. Sam bisa terpikat dengan salah satu perempuan atau banyak perempuan di sana. Sam dikelilingi oleh lingkungan yang kompetitif. Tiap individu memiliki otak yang encer. Kudengar perempuan Eropa juga cenderung tegas. Kombinasikan semuanya. Aku tahu tipe perempuan Sam seperti apa. Tanpa sadar napasku tercekat. Aku... aku harus menghentikan ocehan di kepalaku ini.
Dulu ketika aku mengetahui tabiat Sam ini, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Saat itu semuanya terasa bagai hal baru bagiku. Selama ini aku belum pernah memiliki pasangan yang seperti Sam. Mereka—mantan-mantanku—seringnya lupa waktu dan lupa mengabariku. Jadi ketika ada seseorang yang cukup perhatian dan ingin mengetahui kegiatan dan kabar terkini dariku, aku merasa tersanjung. Aku merasa diterima dan dianggap penting.
Namun sepertinya kita selalu mencari seseorang yang terasa familiar karena kemudian aku menjadi seperti mantan-mantanku. Sam memberiku pengertian ketika aku lupa waktu dan lupa mengabari dan tanggapanku adalah mengenyahkannya. Aku mendiamkannya. Ya, aku merajuk. Kalau aku sudah merajuk, Sam baru akan menenangkanku dan menepuk-nepuk pundakku dan memberikan pengertian padaku dengan pelan-pelan.
Sekarang ketika Sam meradang dan jauh dariku, tidak ada yang menepuk-nepuk pundakku dan menenangkanku. Bagaimana aku bisa menghadapi Sam kalau seperti ini? Aku tidak bisa. Jadi aku mulai mendiamkannya lagi. Kebiasaan lama menjerit. Semakin aku mendiamkan Sam, semakin meledaklah dia.
Oh, biarlah. Mungkin memang inilah akhir masa kami.
Aku bahkan tidak ingat kapan kami putus. Mungkin Sam akhirnya menyerah. Aku pun juga. Frekuensi telepon kami lama-lama menurun. Pertengkaran kami tidak pernah benar-benar mendingin, dan suatu hari di bulan keenam aku menyadari kami sudah tidak bersama-sama lagi.
***
Kejadiannya terjadi begitu saja.
Pria itu bernama Tom. Orang baru yang hadir di hidupku dan menenangkanku ketika aku sedang bertengkar dengan Sam.
Kami bertemu di ruang kelas pelatihan. Aku bersumpah tidak pernah melirik Tom. Namun Tom sering mengambil tempat duduk di sampingku selama kelas dan pertemuan diskusi setelah kelas. Pembawaan Tom berbeda dengan Sam. Jika bisa kugambarkan, Sam seperti kolam ikan yang hening dan teduh di halaman tengah atau belakang sebuah rumah tradisional Jepang, sedangkan Tom selalu meneriakkan atmosfer persimpangan Shibuya.
Tom selalu memanggil namaku dengan semangat yang menggebu tiap pagi setelah dia berhasil melewati pintu masuk kelas. Lalu dia akan mengambil tempat duduk persis di tempatku seolah-olah di situlah tempatnya, bersanding di sampingku. Di tengah proses pelatihan sedang berlangsung, Tom sering mengukir namaku di buku catatannya, lengkap dengan hiasan bunga-bunga. Dia juga sering menempelkan sikunya dengan sikuku. Kupikir dia tidak sengaja melakukannya, tetapi dia tak kunjung menyingkirkan sikunya dari sikuku. Aku juga tidak berusaha menggeser sikuku menjauh darinya. Momen ketika siku kami terpisah adalah ketika aku yang menggerakkan sikuku. Entah bangkit untuk pergi ke toilet atau melakukan presentasi.
Tom pernah bertanya sekali apakah aku sudah memiliki kekasih dan tanpa ragu aku mengatakan ya. Kucoba menelisik di balik ekspresi yang dia pasang di wajahnya. Matanya tidak memancarkan ketakutan atau keraguan. Dia balik menatapku lekat-lekat, tidak memutuskan kontak mata. Kurasa perkara ini tidak membuatnya mengambil langkah mundur.
Mungkin aku seharusnya memberi peringatan padanya. Aku seharusnya memberi batasan itu, tapi tidak kulakukan.
Bagiku, logikanya sederhana saja: Sam tidak ada di sini. Tom yang ada. Aku selalu butuh seseorang yang dapat memberikan afirmasi, terutama saat sedang melalui masa sulit atau percakapan yang menyesakkan. Aku tidak bisa dibentak. Itu terlalu berat bagiku.
Dan Sam… Sam tidak bisa memberikan semua itu.
Dan, oh, tolong jangan katakan bahwa ini salahku.
Aku tidak pernah berniat untuk mengkhianati Sam, tapi aku tak bisa menahannya.
Aku berusaha menjauh dari Tom saat dia berusaha mendekat. Terlepas dari sentuhan-sentuhan kecil seperti siku yang bersenggolan itu, aku tetap menjaga jarak. Aku tidak pernah mengiyakan ajakannya untuk mengantarku pulang. Aku menolak saat dia mengajakku menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Aku bahkan enggan belajar bersamanya jika itu berarti hanya ada kami berdua. Bagiku, tidak ada yang berakhir baik jika hanya ada dua orang—pria dan wanita—dalam ruang yang sama terlalu lama.
Namun Tom cukup gigih.
Dari hal-hal kecil, perhatian Tom perlahan tumbuh. Lama-kelamaan, dia mulai bisa membaca suasana hatiku—kapan saat aku sedang tidak baik-baik aja. Dia tidak benar-benar menyentuhku ketika aku gusar, tetapi dia hadir dengan cara yang halus.
Suatu hari di tengah sesi pelatihan, dia mengusap botol minumku yang terletak di meja tepat di depanku. Gerakannya pelan dan lembut, tapi cukup untuk menarik perhatianku. Aku segera mengangkat pandanganku dan Tom membalasnya dengan senyum hangat dan anggukan kecil seakan ingin berkata, “Aku di sini. Aku melihatmu.”
Selanjutnya, yah, kamu bisa menebak sendiri apa yang terjadi.
Kemudian sama seperti musim, semua ada akhirnya. Aku tak menyangka hal yang sama harus terulang lagi.
Setelah masa pelatihan selesai, pengumuman penempatan kerja pun diumumkan. Tiba-tiba semuanya tampak seperti film yang pernah kutonton. Aku merasakan di balik kulitku bahwa semuanya akan terjadi persis seperti yang kupikirkan. Ketika nama Tom beserta lokasi penempatannya diucapkan, aku seakan mendengar retakan di dalam diriku.
Tom ditempatkan di luar pulau yang jauh di timur. Aku langsung tahu ke mana roda akan berputar.
Maka sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat, aku mengakhirinya.
Copyright © 2025 Ohyouka. Kindly honor the owner by refraining from quoting any portion or more of the blog's content without their consent.
Comments
Post a Comment