You had a speech, you're speechless.
“Kita sebenarnya bisa jadi pasangan yang sempurna.” Kataku pada seorang pria yang terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Selama lima menit aku berdiri mematung menatapnya. Dia baru saja pulang dari entah aku sendiri juga tidak tahu. Dengan sigap telah kusiapkan segelas teh hangat dan kusodorkan padanya begitu dia menghempaskan diri ke sofa empuk kami.
Dalam minuman itu telah kutuang sesuatu. Mungkin butuh waktu kira-kira setengah jam sebelum berekasi.
Kepala yang berdenyut dengan brutal. Pemandangan sekeliling ruangan yang berputar-putar—yah, itu jelas adalah efek yang akan dirasakan oleh mereka yang mengonsumsinya. Nyonya keberuntungan pasti memihakku karena aku mendapatkannya ketika aku singgah ke rumah seorang teman dekatku dan melihatnya di rak kecil di balik cermin toiletnya. Aku bukan orang yang suka mengintip. Aku hanya iseng, entahlah. Aku tahu temanku ini punya suatu penyakit yang mengharuskannya mengonsumsi obat itu secara rutin. Jika mengonsumsi sesuai resep, maka obat itu akan menjadi penolong. Namun obat berlaku seperti bumerang yang memiliki sisi lain.
Aku tahu efeknya sudah mulai bekerja ketika kedua matanya kehilangan fokus. Kurasa beberapa waktu ke depan akan cukup untuk membuatnya bungkam sembari aku melakukan aksiku.
Kukalungkan lengan kirinya di pundakku dan kupapah perlahan tubuhnya ke atas ranjang. Sementara dia berbaring, aku menarik bangku rias di samping ranjangnya dan duduk di atasnya. Kedua kaki jenjang yang bebas bulu akibat perawatan laser kurentangkan di samping tubuh pria itu. Oh, betapa aku rela melakukan segalanya untuk tampil menarik di mata pria itu, tapi apakah dia akan melakukan hal yang sama untukku? Kulirik wajah kuyu dan redup itu. Setidaknya pernah terukir wajah yang rupawan di sana. Meskipun itu sudah lama sekali.
Kedua matanya berkedip-kedip cepat. Kesadaran masih butuh waktu untuk mencapai otaknya. Sebentar lagi dia mungkin baru akan sadar bahwa aku telah melakukan sesuatu padanya.
“Aku jarang merasakannya.” Kataku lagi padanya. Kurasa sebelum aku sampai ke inti pembicaraan kami, aku perlu sedikit menjelaskan sedikit kata pengantar. Entah dia memahaminya atau tidak. Entah dia merasakannya juga atau tidak. “Namun ketika aku merasakannya, kulitku akan meremang dan menusuk sampai tulang. Hal selanjutnya yang kutahu adalah frekuensi detak jantungku yang meningkat. Rasanya seperti ketegangan yang intens. Seperti terjadi sebuah ledakan di dalam benakku. Aku langsung tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi.”
Pria itu mulai memandangiku dengan sedikit kerutan di dahinya. Dia ingin membuka mulutnya dan mengucapkan sesuatu, tetapi ada yang menghalanginya. Belum saatnya.
Kamu harus mendengarkanku. Selama ini kamu tidak pernah benar-benar mendengarkanku, kan?
“Aku tidak tahu untuk waktu yang cukup lama sampai kemudian aku membaca informasi tentangnya.” Pandanganku kini hinggap di meja nakas. Di atas meja nakas berdiri lampu tidur berwarna kuning temaram. Meja nakas tersebut, lampu tidur tersebut, ranjang tersebut, semua perabotan di apartemen ini terpoles sempurna. Semuanya berkat kerja kerasku untuk selalu memastikan semuanya berkilau. Tanpa debu. Tanpa noda. Tanpa cacat.
Biasanya aku jarang melakukan kesalahan. Namun ‘jarang’ bukan berarti ‘tidak pernah’. Sayangnya aku memang telah melakukan kesalahan. Pria di hadapanku ini adalah sebuah kesalahan.
“Rupanya,” kataku melanjutkan. “Kondisi itu disebut sebagai telepati emosional atau koneksi perasaan antara dua orang yang memiliki hubungan emosional yang kuat.”
Tatapan bertanya-tanya menghiasi wajah kurus keringnya. Oh, tentu saja. Seperti dia pernah peduli.
Jadi, aku meneruskan kata-kataku—yang sampai tahap ini cocok apabila disebut sebagai pidato. Pria di depanku tidak akan menanggapiku. Belum. “Begitu aku mengetahuinya, aku mulai berlatih. Aku praktis tahu kepulanganmu hanya dari frekunsi detak jantungku.”
Salah satu tanganku menyentuh dadaku. Kutundukkan pandanganku ke dadaku. Kelima kukuku—sepuluh kuku tanganku—dipercantik oleh seni kuku. Dipotong berbentuk almond yang sempurna dan dicat oleh warna merah marun. Sebentar lagi mungkin warnanya akan tersamarkan dengan cairan lain. Aku mengerucutkan bibirku dengan masam. Aku tidak pernah ingin ini terjadi.
“Tapi aku tak mengerti.” Aku juga mengerutkan kening. “Kalau kita memang memiliki ikatan batin yang kuat, mengapa tindakanmu tidak mencerminkannya?”
Kamu tidak selalu ada di sini. Kamu selalu bilang, sibuk terbang ke sana kemari untuk menyelamatkan dunia. Kamu benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Aku sering terbangun sendirian dengan kondisi ranjang di sisiku kosong, dingin, dan tak tersentuh.
“Setiap kali aku mencoba menjelaskan betapa kamu seharusnya berusaha lebih banyak untuk hubungan ini.” Kuangkat kepalaku untuk menatapnya kembali. Salah satu sudut bibirku tersungging. Biasanya pria itu akan langsung meleleh dan menghambur ke arahku tiap kali aku memberikan senyum terbaikku, tapi kali ini aku memberikan senyum yang berbeda. Bagaimana kamu menyebut senyuman yang tidak pernah mencapai mata?
Ya, senyum dingin.
“Kamu selalu bilang sudah melakukan cukup banyak,” Aku melanjutkan. “Tapi itu hanya usaha minimal yang seharusnya kamu memang upayakan.”
Aku menggelengkan kepala sebagai bentuk kekecewaan. “Kamu tak pernah tahan sedikit pun ketika melalui percakapan yang sulit. Saat semuanya menjadi tak tertahankan bagimu, kamu selalu membuat segalanya tentang dirimu. Mengasihani diri sendiri seolah kamu yang paling terluka.” Jeda sejenak sebelum aku melanjutkan. Kuperhatikan bahwa bulir-bulir keringat mulai bermunculan di pelipisnya. “Tetapi aku juga terluka. Seakan aku tak punya waktu untuk merasakannya, kamu langsung selalu mengambil alih pembicaraan, dan tiba-tiba,” Satu tanganku terulur untuk membuat perhitungan dengan jari-jariku. “Semuanya jadi tentangmu atau tentang dunia atau tentang takdir yang tak bisa kamu ubah.”
Pria di hadapanku mulai mengerutkan kening. Sampai tahap ini kurasa efeknya baru bekerja. Sebentar lagi. Aku hanya punya waktu sedikit untuk menyelesaikan apa yang harus kulakukan. Maka aku melanjutkan pidatoku.
“Aku tidak pernah bermaksud memaksamu.” Kataku pelan hampir terdengar seperti bisikan. Aku ingin membuatnya terkesan lebih dramatis. “Aku hanya ingin kita bekerja sama, tapi kamu praktis selalu menjauh.”
Sebuah gumaman lolos dari bibirku. Bagaimana aku menjelaskan klimaks pidatoku ini, ya? Semua upaya yang dia lakukan masih belum cukup. Tahun-tahun indah dan produktif telah berlalu, menyisakan kegersangan. Api melahap habis, menyisakan abu dingin. Tubuhnya digerogoti oleh kegelapan. Api yang telah menarikku mendekat padanya, juga adalah yang telah membakarku.
“Pukulan terakhir datang saat aku mengangkat topik tentang tagihan-tagihan yang harus dibayar.” Akhirnya aku membuka suara kembali. “Bagaimana kita bisa hidup bahagia bersama selamanya kalau jawabanmu hanya bahwa kamu akan mengusahakannya?” Kujentikan jariku di depan wajahnya. “Uang tidak datang dengan bualanmu.”
Dengusan kasar meluncur keluar dari bibirku yang kembali mengerucut. “Aku mulai membayangkan bahwa rasanya hampir mustahil untuk menjalani hidup dan menghabiskan sisa hidupku denganmu.” Jika sebuah tatapan bisa membunuh, maka aku sedang mengusahakannya. Kuhadiahkan tatapan tersinis penuh kejijikan sebagai penutup pidato ini. “Saat kamu bergegas pergi sebelum kita sepakat bahwa pembicaraan telah usai, aku tahu bahwa tak ada usaha yang bisa kulakukan lagi untuk menyelamatkan ini.”
Cinta telah tergelincir dari jangkauanku.
Akhirnya semua kata telah terucap. Tas pakaianku tergeletak di ujung sisi kamar, dekat pintu keluar. Tak ada lagi yang perlu kukatakan dan kuucapkan lagi. Aku siap untuk melangkah pergi, meninggalkan ini semua.
“Selamat tinggal, Dean.” Ucapku lirih.
Dean-ku tersayang, selamat tinggal. Aku takkan berjumpa denganmu lagi.
Namun aku masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di ujung benakku. Perasaan aneh dan tak lazim, seakan ada bagian dari diriku yang masih terperangkap.
Kemudian tiba-tiba aku tersadar….
Aku bisa melihatnya dengan jelas dari mataku bahwa Dean sedang terlelap dan aku masih berdiri dengan kaku di samping ranjang, tatapan nanar tertuju ke arahnya.
Semua pengalaman ini ternyata hanya terjadi di kepalaku.
2 Januari-15 Mei 2025
Comments
Post a Comment