My Perfect Partner
Beberapa orang memiliki pemecah kesepakatan dalam hubungan yang dijalani, khususnya hubungan percintaan. Pemecah kesepakatan terlihat sepele, tapi jika seseorang benar-benar memegang komitmen terhadapnya, hubungan asmara pun bisa kandas seketika.
Aku mencintai Collin. Selalu begitu. Aku mencintainya sepenuh hati, dengan seluruh jiwaku. Aku begitu mencintainya sehingga aku selalu menutup mata setiap kali aku mendapati remah-remah mencurigakan yang tidak sengaja ditebar olehnya.
Suatu hari sebuah email masuk dan menunjukkan posisi Collin saat itu. Collin terlihat baru saja masuk ke dalam akun media sosial milik kami bersama dari suatu tempat yang tidak seharusnya. Dia berkata padaku sedang di Paris untuk urusan pekerjaan. Namun di email, posisi GPS menunjukkan dirinya sedang berada di Bosnia.
Ketika aku mencoba mengonfirmasi kebenaran ini, Collin mengelak dengan lihai. Dia selalu memulainya dengan pernyataan, “Aku tidak tahu.” dan biasanya dilanjutkan dengan dalih semacam, “Pasti ada yang salah dengan internet. Ada yang berusaha membobol akun kita.” Apa pun bisa dilakukannya jika itu bisa membuat tangannya tetap bersih. Collin pandai membuat segalanya tampak polos dan lugu dengan lagak ketidaktahuannya. Dan aku selalu curiga sepanjang waktu.
Aku sempat membalas, “Bagaimana mungkin?”
Dia menjawab, “Tentu saja. Lihat pengikut kita di Instagram. 1 juta, Laura. Kita adalah pasangan serasi yang diidamkan oleh banyak orang. Aku yakin banyak yang iri dan mencoba merusaknya.”
Isi perdebatan selalu bermacam-macam. Tapi awal dan akhir selalu sama. Collin akan mengakhiri kecurigaan dan keraguanku dengan menangkup lembut wajahku, menyentuh tubuhku dengan penuh perhatian, mendekapku, hingga kami berakhir di ranjang.
Selalu seperti itu dan aku selalu saja luluh. Collin memikatku dengan sentuhan-sentuhannya. Dia betul-betul memahaminya. Collin tahu bahasa cintaku adalah sentuhan fisik dan dia menggunakannya dengan baik.
Namun dia lupa, di atas bahasa cinta yang banyak diagungkan orang-orang, di atas semua jutaan pengikut di sosial media, di atas segala label pasangan idaman dan panutan, ada situasi yang tidak bisa didebat. Situasi yang jika sekali dilanggar dan batas yang dilewati, maka tidak ada jalan untuk mundur dan kembali.
Pada akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuat Collin tidak bisa berkelit. Kami baru saja melewatkan malam yang panjang setelah pertengkaran sengit lainnya seperti biasa. Collin baru saja pulang dari luar negeri, entah negara mana lagi yang baru saja dia kunjungi. Polandia, Rusia, Turki—aku tidak pernah berusaha keras mengingatnya lagi karena polanya selalu sama. Pulang dari luar negeri, bertengkar, berbaikan, liburan bersama, memamerkan kemesraan kami di sosial media, dan siklus akan berulang lagi.
Karena agak mabuk sehabis minum bergelas-gelas wine, aku sempat tidak memperhatikan langkahku. Kakiku terantuk kursi dekat ranjang kami. Tas perjalanan yang biasa dibawa Collin bepergian ke luar negeri jatuh ke lantai. Kertas-kertas berserakan. Dengan pandangan kabur, aku berlutut dan memungut kertas-kertas tersebut.
Saat itulah mataku lantas menangkap kata-kata itu.
Sebuah batu besar seakan menghantam jantungku tepat di tengah-tengah dalam sekali pukulan. Aku yakin selama sesaat jantungku sempat berhenti berdetak. Ini tidak mungkin benar, aku mendengar diriku berkata dalam hati. Aku tersedak oleh campuran napas dan ludahku yang beradu argumen dengan otakku yang mendadak bising. Napasku memburu seakan baru saja dikejar kawanan serigala di tengah hutan. Bernapas menjadi begitu sulit.
Waktu aku mendongak, mataku langsung bersitatap dengan mata Collin. Collin telah bangun dari tidurnya. Dada bidangnya terpampang jelas di depan mataku. Sangat menggoda. Andaikan aku tidak menemukan kebenaran ini, aku mungkin akan langsung menerkamnya.
Dia tahu. Dia tahu aku telah mengetahuinya. Matanya memancarkan penyesalan. Air mata mulai berlinang di pelupuk matanya. Kerutan di dahinya. Hidung yang terlipat. Dia menyesal, aku tahu itu.
“Aku tidak pernah bermaksud demikian.” Ucap Collin. Emosi yang terpendam membuat suaranya serak.
“Tidak.” Jawabku tegas. Tangan kananku teracung, tanda memintanya untuk tetap di posisinya. Aku tidak ingin dia bangkit dari ranjang dan melakukan omong kosong bahasa cinta sentuhan fisik itu. Memikirkan sentuhan-sentuhannya selama ini sekarang membuatku jijik dan mual. Aku tidak sudi disentuh olehnya.
“Kita selesai.”
“Jangan.” Balas Collin cepat. “Laura, tolong dengarkan aku dulu. Ini tidak seperti yang terlihat.”
“Bagiku ini sudah cukup jelas, Collin.” Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan ini, suaraku terdengar sangat jelas dan tegas. “Kamu tahu aku tidak pernah tahan dengan ini. Aku pernah menjelaskannya dulu. Kelompok ini—“ aku menggoyang-goyangkan kertas milik Collin yang berada di genggamanku. “Aku membenci mereka. Kamu tahu itu. Mereka sangat bengis dan kejam. Mengapa kamu bisa terjerat ke dalam kelompok mereka, Collin?”
Aku bertanya, tapi aku tidak butuh jawaban. Aku tidak butuh penjelasan mengapa Collin melakukannya. Bagiku, pilihan Collin hanya aku atau tidak sama sekali.
Tindakan Collin yang diam-diam bergabung ke dalam sebuah aliran sesat, yang reputasinya dikenal buruk karena selalu menyebar teror dan aksi pengeboman di penjuru dunia telah cukup memberiku bukti untuk melepas Collin.
“Kita selesai sampai di sini, Collin.” adalah kata-kata terakhirku padanya sebelum aku menghambur ke pintu kamar dan meninggalkannya begitu saja. Aku meninggalkan semua barang dan kenanganku di apartemen Collin. Bagiku semuanya tidak penting lagi begitu Collin melanggar kesepakatan yang telah kami buat sebelumnya.
Selamat tinggal cintaku yang sempurna. Sekarang setelah kamu merusaknya, tidak ada lagi yang tersisa.
0 comments