PENGALAMAN OPERASI MATA IKAN

by - May 31, 2022


Sabtu lalu, tanggal 26 Maret 2022, aku melakukan operasi pertama kali dalam seumur hidup. Aku berdoa semoga itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya. 

Bukan pengalaman yang menyenangkan. Aku berdoa semoga kalian gak perlu sampai sakit mata ikan sepertiku. Namun, jika kalian mendapatkannya, semoga ceritaku kali ini bisa memberi sedikit gambaran lain, pengetahuan, dan informasi baru. 

Semua dimulai sekitar dua minggu lalu, atau itulah yang kira-kira kuperhatikan ketika aku mulai merasakan sakit di telapak kakiku tiap kali aku mencoba untuk berjalan. Beberapa kali aku mengecek, gak tampak sedikit pun luka atau sayatan atau lebam di permukaannya. Hanya benjolan berbentuk lingkaran sempurna dan titik berwarna hitam tepat di tengah benjolan. 

Saat itu aku gak tahu itu apa. Yang kutahu adalah aku telah menginjak kabel sepanjang 2 meter yang malang-melintang di lantai kamarku beberapa kali di titik telapak kaki yang sama. Memang apes. 

Sepuluh hari telah berlalu dan sakit ini malah semakin menjadi-jadi. Dia hanya akan menghilang sejenak kalau aku pakai sandal atau sepatu. Aku sampai harus memakai plester agar ada bantalan empuk yang menjadi pembatas antara telapak kaki dan lantai. Aku bersyukur masih sempat dua kali berolahraga dengan fokus lower body. Sekarang aku memimpikan momen itu lagi. Sekarang ketika minat berolahragaku muncul dan aku sudah berusaha berkomitmen untuk terus melakukannya di tengah puasa nanti, insiden ini harus terjadi. 

Aku benar-benar clueless dengan penyakitku ini sampai hari Rabu, 23 Maret 2022. Sebelum-sebelumnya aku merasa hampir mendekati dengan jawaban yang kucari, tapi jawaban tersebut langsung melarikan diri dari pikiranku. Hingga aku membaca Instagram stories @overheardbeauty yang hari Rabu itu membahas soal kapalan. Kemudian ada salah satu pengikut yang menyebut tentang clavus/mata ikan dan saat itu juga kedua mataku melebar. Ini dia! Ini yang kucari-cari. Aku langsung googling dan begitu membaca semua gejalanya, aku yakin 100% aku terkena mata ikan.

Kemudian aku membaca cara menyembuhkannya dan menemukan salah satu cara ampuh adalah dengan membedahnya--melakukan operasi kecil. 

Esoknya, aku mencoba berkonsultasi dengan dokter di Halodoc. Sebagai pembuka, aku langsung berkata begini, "Pagi, dok. Sepertinya saya kena mata ikan. Ada benjolan di telapak kaki saya dan titik hitam di tengahnya. Mulanya saya menginjak kabel dan...."

Ketika sang dokter meminta fotokan mata ikanku, aku mengatakan kalau aku sedang di kantor dan tak memungkinkan untuk memotret. Kemudian sang dokter mengirimkan contoh foto-foto mata ikan dan aku menyangkal kalau milikku gak seperti itu. Pada saat itu, dalam kepalaku agak sedikit menyangkal. Foto-foto itu tampak lebih buruk dan parah. Aku berkata, "Punya saya tidak ada perubahan warna di sekeliling benjolan." 

Lalu, karena merasa malu dengan penyangkalanku, aku menutup Halodoc dan segera meluncur ke lantai B1, menghampiri klinik kantor. Begitu aku membuka plester dan menunjukkannya pada dokter yang bertugas, sang dokter langsung berkata dengan mantap, "Ya, ini betul mata ikan." 

Aku terpana. Aku bertanya, "Apakah ini harus dibedah? Sakit gak, dok?" Pikiranku langsung berkelana ke mana-mana. Memikirkan ide harus dicongkel dan segala macam membuat semua di sekitarku berputar-putar dan aku harus berpegangan erat pada eskalator saat naik ke lantai G, bersandar dengan lemas di dinding lift, dan melalui berbagai reaksi panik lainnya yang terjadi dalam kepalaku.

Yah, kadang aku bisa selebay ini.

Hal selanjutnya yang kulakukan adalah membuka e-book yang berisi daftar penyedia layanan kesehatan yang sudah bekerja sama dengan asuransi Mandiri Health. Kukatakan padamu ada banyak sekali sampai membuatku bingung rumah sakit atau klinik mana yang harus kupilih. Aku harus mencari klinik atau rumah sakit yang memiliki spesialis bedah. Hal selanjutnya yang kukhawatirkan adalah masalah biaya. Apakah asuransi akan menanggung semua? Atau sebagian? 90% seperti di klinik lantai bawah? Aku merasa clueless dan kewalahan. 

Ketika akhirnya aku menemukan RS B, aku melakukan reservasi melalui telepon. Aku pun sempat bertanya ke Call Center Mandiri Inhealth terkait estimasi biaya (HAHA), yang dijawab tidak bisa memastikan karena hal itu akan dilakukan oleh pihak rumah sakit dan pihak asuransi. Ketika aku lantas bertanya ke Customer Service RS B, aku mendapatkan estimasi sekitar 20 juta. 

Kedua mataku melotot dan kalau gak tertanam kuat di kepalaku, aku ragu mereka masih bisa menempel dengan benar. Aku langsung menerapkan langkah mundur teratur. 

Harusnya gak seperti ini. Aku googling dan banyak dari orang-orang mengatakan biaya yang dikeluarkan gak lebih dari dua juta. Yah, tapi itu tahun berapa juga, yah. Dan mereka berasal dari kota mana? Bisa jadi bukan di Jakarta. Kemudian ada orang yang bercerita biaya operasi eksisi mata ikan di bawah satu juta, tapi itu dia lakukan di klinik.

Saat aku menceritakan tentang RS B ini ke salah satu penghuni kos, Mbak L, dia berkata, "Wah, itu RS artis, ya? Kayaknya itu RS mewah. Pernah denger di vlogger mereka pergi ke RS itu." Percakapan ini terjadi sebelum kami mengetahui estimasi harga eksisi mata ikan. Mbak L memperkirakan gak akan sampai 5 juta, bahkan gak sampai 2 juta. 

Akhirnya aku mencoba bertanya ke ibu kosku. Aku pernah dengar beliau menyebutkan memiliki teman di rumah sakit. Mungkin beliau memiliki rekomendasi rumah sakit yang bagus dengan harga yang juga bagus (untuk kantongku).

Beliau merekomendasikan RS. Tria Dipa. Dari teman bu kos meyakinkan harganya gak akan sampai semahal RS B. Hohoho, jantungku sedikit tenang. Aku lantas meminta nomor telepon RS dan melakukan reservasi melalui telepon. Sangat terbantu sekali. Aku dapat nomor urutan 2. Ditambah ternyata jadwal dokternya juga bagus, Sabtu pukul 10 pagi. 

Aku sempat mengunjungi ke website RS TD dan melihat jadwal prakter dokter bedah yang akan kutemui. Sejujurnya waktu melihat potret wajah dokter potensialku ini aku grogi karena tampaknya beliau gak ramah. Bagaimana kalau aku gak diperlakukan dengan baik? Belum-belum beban pikiranku sudah menumpuk.

Hari H akhirnya tiba juga keesokan harinya. Aku berangkat dari kos pukul 9. Aku datang bersama Mbak T, teman kos yang sudah kuanggap seperti kakak perempuan. Ah, aku sangat bersyukur memiliki teman-teman kos yang menyenangkan. Begitu sampai kami disambut dengan baik oleh semua pihak. Aku cukup terkejut dokter bedah potensialku ini datang pukul 9:50 am. Membuatku terkejut dan tersanjung. Di benakku dan dari pengalaman yang sering kulalui, dokter praktek gak pernah datang tepat waktu. Poin plus positif sekali melihat beliau datang lebih awal dan langsung menerima pasien bahkan ketika jam belum menunjukkan pukul 10.

Ketika namaku dipanggil, jantungku berpacu semakin cepat. Di ruangan inilah aku mungkin akan dibedah. Rasanya seperempat jiwaku agak terbang keluar. Kedua kakiku lemas seperti jeli.

Begitu dokter berkata apa keluhanku dan aku menceritakan ulang cerita konyol soal menginjak kabel, aku mendapat penjelasan yang mencerahkan dan detail dari beliau.

Aku semakin menyukai dokter bedah ini, yang ngomong-ngomong, perlu kusebutkan namanya: dokter Tri Dewo. Beliau menjelaskan kalau bukan karena kabel lah aku mendapat mata ikan. Mata ikan berasal dari virus. Persis seperti yang kudapat dari internet. Namun bagaimana virus ini menghampiriku?

Beliau menjawab, "Virus ada di mana-mana, di sekitar kita. Tergantung imun tubuh kita masing-masing. Dalam kasus Mbak, virus ini sudah ada di kaki Mbak. Kemudian ada rangsangan dari tekanan di luar dan membuat mata ikan ini keluar." 

Beliau bahkan menggambarkannya di kertas catatan pasienku. Beliau juga menjelaskan kalau ini harus dibedah. Kulit akan dibelah dan dikorek sampai akar mata ikan ini tercabut. Belahan ini seperti rupa mata kita. Agak lonjong dan meruncing di ujung kedua sisinya. 

Aku sempat menyangsikan apakah penyakit sepele ini sampai harus dibedah? Gak ada kah obat yang membuatnya keluar sendiri dan akhirnya kita terbebas dan sembuh dari mata ikan? Sungguh menjengkelkan dan mengganggu. 

Saat berbicara di telepon dengan keluargaku, adikku menyebutkan ada obat berupa plester mata ikan yang pernah dia tonton dari video TikTok. Ketika aku mencarinya di Tokopedia, membaca review, dan tata caranya, aku mengerang. Lama banget proses sembuhnya dan gak boleh kena air. Ribet, menurut kamus anti ribet club-ku. Yah, rupanya dioperasi juga gak kalah ribet, apalagi kalau posisinya di telapak kaki.

Dokter Tri kemudian memintaku untuk cek darah di laboratorium dan bertanya tentang riwayat komorbid. Aku menyebutkan ada Papa yang memiliki riwayat diabetes. Di kertas formulir laboratorium, aku melihat beliau mencetang glukosa selain pengecekan darah. 

Hari itu rasanya aku punya 3 macam kekhawatiran. Hasil laboratorium, operasi, dan biaya one day care. 

Aku khawatir ketika harus diambil darahnya. Aku gak pernah suka disuntik. Aku lantas teringat hari itu aku baru minum segelas air 250 ml. Aku pernah melalui drama ketika hendak diambil darah sewaktu tes Covid masih mengggunakan darah. Ada yang darah sulit keluar, nadi sulit ditemukan, dan lain-lain. Namun rupanya hari itu darahku mudah diambil. Terima kasih diriku karena kemarin telah minum banyak air. Komitmen minum minimal 2 liter telah kulakukan lebih dari sebulan. ^^

💡 Pastikan untuk minum cukup banyak air putih minimal 2 liter di hari sebelumnya saat hendak melakukan tes darah atau urin.


Setelah sejam menunggu, akhirnya namaku dipanggil dan kertas laporan laboratorium pun berada di tanganku. Aku deg-degan sebelum membacanya. Bagaimana kalau aku berpenyakitan? Bagaimana kalau aku gak layak untuk dioperasi karena hasilnya gak bagus?

Fiuh. 

Rupanya hasil laboratoriumku bagus. Alhamdulillah. Ada, sih, hasil terkait darah yang agak kurang. Rasanya aib dan dosaku itu ditelanjangi lewat hasil laboratorium. Namun yang pasti untuk pembekuan darah dan hasil glukosaku bagus. 

Dari hasil laboratorium ini aku belajar untuk memperbaiki pola makan dan hidupku menjadi lebih baik lagi. Semoga bisa terus berkomitmen. 

Kemudian aku menyerahkan hasil laboratorium kepada perawat yang berjaga. Aku pun diarahkan untuk melakukan tes swab antigen. Beberapa menit kemudian, aku diarahkan ke lantai dua. 

Ini dia. Rupanya operasi gak dilakukan di ruang konsultasi spesialis bedah tadi. Kukira karena operasi kecil bisa langsung dilakukan di tempat itu. 

Kami mengikuti seorang perawat yang mengantar kami naik melalui lift. Kemudian dari lift kami belok kanan dan berjalan terus sampai mentok dan menemui sebuah pintu yang memiliki dua daun pintu. Kami berbelok ke kiri, dan di ujung ruangan ada pintu lain lagi. Pintu ini buram. Namun ada cahaya di balik pintu tersebut. Perawat membuka pintu dan memanggil seseorang. Perawat ini pergi dan sebagai gantinya ada perawat lain yang menghampiri kami sambil membawa dua kain berwarna hijau telur asin yang dilipat rapi. Perawat itu memiliki perawakan yang ramah dengan senyum lebar yang sampai ke matanya. Beliau meletakkan kain yang kuduga merupakan baju operasi di meja samping tempat tidur pasien. 

Ya ampun aku masa sampai harus memakai baju operasi? Seserius ini? Nyaliku yang sudah dari awal ciut makin menciut. 

Perawat tersebut meminta dengan sopan pada Mbak T untuk menunggu di luar ruangan dan duduk di sofa empuk yang telah disediakan. Pintu buram tadi langsung ditutup dan aku diminta berganti pakaian dengan baju operasi itu. Aku juga diminta menanggalkan kacamata, gelang dan jam tangan yang kukenakan. Menanggalkan kerudung yang diganti dengan topi plastik transparan berwarna hijau juga. Sandal pun harus ditinggalkan. 

Perawat kemudian menuntunku ke ruangan lain yang tampak suram dan gahar. Ada tempat tidur yang minimalis di tengah ruangan. Ada lampu operasi dan berbagai peralatan operasi di sebuah meja di sisi ruangan. Ya ampun, aku sungguh akan benar-benar dioperasi. Jantungku berdetak semakin kencang. Buku-buku jariku mendingin. Tubuhku menegang. 

Aku diminta berbaring telentang. Napasku perlahan memburu seolah aku mau ikut turnamen lari. Setelah menimbang-nimbang berbagai sudut posisi pewe, diputuskan kalau akan lebih baik jika posisi tubuhku telungkup. Aku menggenggam jepit badai rambut mini berwarna ungu di telapak tangan kananku sementara telapak kiriku menggenggam ujung tempat tidur operasi. 

Seorang perawat lain masuk dan mulai mengoleskan alkohol dan membersihkan telapak kaki kananku. Aku merasakan ada sesuatu yang dilampirkan di atas betisku. Kemudian ada sesuatu yang menutupi sekeliling telapak kaki kananku kecuali di tengah-tengah lokasi operasi yang akan dibiarkan terbuka. 

Kemudian sang dokter masuk. Beberapa saat kemudian dokter Tri memberi aba-aba padaku, "Saya mulai, ya, bu. Dimulai dari suntik bius lokalnya." Dokter berkata gak apa-apa aku berteriak, asal jangan bergerak-gerak. Aku merasakan tangan perawat yang menahan punggungku agar gak bergerak saat jarum ditusuk ke area operasi dan aku meloloskan teriakan. Tusukan kedua dan aku berteriak lagi, tapi gak sekencang yang pertama.

Daripada operasinya, yang paling sakit hari itu adalah saat disuntik bius lokal. Setelah obat bius bekerja, aku benar-benar gak merasakan apa pun. Aku hanya merasa ada sesuatu yang bergesekan yang kuduga terjadi saat lukaku dijahit. Aku benar-benar merasakan saat benang dimasukkan dan ditarik keluar. Suaranya persis seperti  suara benang saat kita sedang menjahit manual.

Operasi hanya berjalan sekitar 20 menit. Setelahnya aku gak merasakan apa-apa. Suster sampai repot-repot membawakanku kursi roda. Dan itu adalah pertama kalinya aku memakai kursi roda. Aku merasa gak perlu dan sungkan karena aku merasa baik-baik saja.

Well, yah, kenyataannya hari itu gak ada apa-apanya. Esok harinya kesakitan baru menghampiriku. Aku sampai harus beli kruk, meski hanya terpakai sekitar 3-4 hari saja. Ditambah tiga hari dipakai lagi setelah cabut benang. 

Foto diambil oleh Mbak T saat kontrol.

Rasanya nyeri dan cenat-cenut. Tapi kalau harus mengatakan mana yang lebih sakit, paling parah adalah setelah dicabut benang. Benang jahitanku dicabut 10 hari setelah operasi. Saat dicabut benang rasanya sakit, tapi bisa aku tahan. Karena gak ada bius lagi, bahkan ketika aku melangkahkan kaki keluar ruang periksa, aku sudah mulai merasa nyeri. Lalu aku pulang naik ojol motor dan waktu melangkahkan kaki dan membetulkan posisi, kaki kananku sempat jadi tumpuan, sempat jinjit dan saat itu rasanya campuran antara nyeri dan syaraf ketarik. Sakit banget! Waktu aku sampai depan kamar, aku buru-buru mengecek lukaku dan mendapati perbanku berwarna merah dan sampai tembus ke sandalku. 

Habis pulang dari cabut benang dan darah merembes ke perban dan sandalku.

Panik, dong! Setelah tanya-tanya dengan saudara Mbak T, akhirnya perban baru diganti besoknya. Sore hari setelah cabut benang, lukaku hanya ditambah perban. 

Saat itu aku pakai kruk lagi. Benar-benar hari tersusah. Mau berdiri susah. Mau ke kamar mandi susah. Mau mengangkat badan di ketinggian yang berbeda antara kamar dan kamar mandi susah. Aku harus berpegangan pada kedua sisi dinding dan pintu kamar mandi. Beban tubuh kutumpu pada mereka alih-alih kaki kananku. Beberapa kali aku pakai bantuan kruk untuk naik ke kamar mandi. Hahahaha.

Untungnya hanya berlaku tiga hari. Di hari keempat aku sudah gak memerlukan kruk lagi. 

Aku mengganti perban tiap dua hari sekali. Aku juga kontrol ke dokter setiap 2-3 hari sekali. Aku berhenti kontrol setelah dicabut benang. Namun aku kontrol lagi sekali di minggu ketiga April karena takut mendapati di sekitar lukaku kenapa berwarna hitam. Pikiran mengada-adaku mengatakan jangan-jangan itu busuk karena beberapa kali sedikit-sedikit sempat terkena air waktu mandi! Huhuhu.

Aku pernah sekali pakai plester anti air dan mandi tanpa pakai plastik yang menyelubungi kaki kananku dan saat ganti plester anti air tersebut, aku panik waktu melihat lukaku dan kulit di sekitar luka menggelembung. Kupikir lukaku jadi bernanah! Aduh, lagi-lagi pikiranku sudah berkelana ke mana-mana. Ternyata itu karena kena air. Seperti buku-buku jari kita yang mengkerut sehabis renang. Dan rupanya memakai plester anti air itu tidak disarankan karena malah jadi kedap udara dan itu gak baik, kata dokter Tri. 

Untuk perawatan ganti perban, aku membeli NACL sebagai cairan pembersih, perban, plester, dan betadine. Tidak boleh juga pakai salep antiseptik karena itu malah akan membuat luka lembab. 

Aku baru beralih dari perban ke plester di Week 4 April. Sekitar sebulan setelah operasi. Di plester itu aku taruh beberapa tetes betadine sesuai anjuran dokter Tri. 

Untuk biaya operasi, alhamdulillah untuk proses operasi aku gak bayar sama sekali karena hitungannya one day care alias rawat inap. Aku pakai asuransi Mandiri Inhealth. Di RS Tria Dipa, untuk operasi mata ikan di tahun 2022 kena 5,7 juta. Agak mahal ya dari hasil searching pengalaman orang-orang berobat operasi mata ikan. Obat yang didapat juga obat paten. Waktu kontrol baru bayar 10%. 90% ditanggung oleh asuransi. 

Untuk pelayanannya di RS Tria Dipa bagus, ya. Perawatnya ramah dan baik dan membantu. Dokternya juga baik. Sebagai pasien diperlakukan dengan baik. 

Total butuh dua bulan pas bagiku untuk bisa benar-benar sembuh dan bisa berjalan normal kembali. Tanggal 26-27 Mei akhirnya aku bisa menapak sempurna. Kaki kananku udah kuat menopang tubuh. Kadang-kadang kalau posisi gak pas masih agak terasa mengganjal dan sakit, tapi masih bisa ditahan!

Selama penyembuhan, aku juga mengonsumsi kapsul ikan gabus 500 mg. Aku sempat bertanya ke dokter Tri apakah tidak apa-apa aku minum kapsul ikan gabus. Katanya gak papa, dan malah bagus. Karena untuk menutup luka operasi, perlu banyak makan protein. Aku juga beli sandal khusus merk Birkenstock. Why Birken? Karena bagian tumitnya dia agak cekung ke bawah, jadi lukaku yang letaknya dekat tumit gak bersentuhan langsung dengan sandal. Sandal ini jadi penyelamatku yang akhirnya bisa lihat-lihat takjil buka puasa di Week 4 April. Sebelumnya aku selalu minta tolong Mbak T dan Mbak L untuk beli makanan buatku. Huhu. Karena untuk naik-turun tangga rasanya sangat gak memungkinkan bagiku. Makasih banyak ke Mbak T dan Mbak L yang sudah banyak membantuku.

Jadi, yah, itulah kira-kira pengalamanku kena mata ikan. Semoga memberi pencerahan dan menambah informasi.

You May Also Like

0 comments