Sejak aku ngikutin OA Line Draft UB, gak sedikit pengirim, penerima, atau pesan isinya tentang fakultasku. Kalau sudah bicarain tentang fakultasku, bahasannya pasti gak lepas dari istilah 'wibu'. Sebenarnya aku heran apa yang salah dengan wibu? Atau otaku? Aku memandangnya sama wajarnya bagi mereka yang fans Korea, fans drama India, bahkan fans dangdut. Semua orang punya selera masing-masing, apakah salah memilih kesukaan mereka? Sejak kapan hak memilih dipermasalahkan. Bahkan ada pasal yang mengatur tentang ini.
Aku gak lagi membicarakan mengenai kadar fans fanatik yang bahkan sepertinya pendapatnya adalah fakta. Atau mengenai orientasi spesifik dan personal mereka menyukai objek tersebut. Aku lagi pengen membahas tentang bagaimana kesukaan bisa menjadi alternatif pembelajaran selain sebagai hiburan. Karena postingan ini khusus membahas tentang pandanganku tentang otaku, jadi aku juga mau cerita pengalamanku sebentar—eh, mungkin juga lama. He-he.
Aku suka tentang budaya Jepang khususnya anime sejak aku SMA. Lebih tepatnya waktu ada pelajaran Bahasa Jepang. Aku juga nonton Doraemon, Sinchan, Maruko-chan, dan beberapa anime yang pernah ditanyangin di tv waktu kecil. Tapi dulu aku nyebutnya kartun. Semua yang gak nyata itu kartun. Dan kartun adalah tontonan untuk anak-anak aja.
Tapi sampai aku kenal anime, pemikiranku pun berubah. Temen sebangkuku waktu itu ngenalin aku sama anime Another. Otaku pemula pun kayaknya pasti tahu anime ini kalau ditanya anime horror apa yang bagus. Singkatnya, Another adalah anime pertama yang aku tonton. Kenapa aku bisa bilang demikian? Karena itu pertama kalinya aku nonton anime dengan bahasa yang belum diubah. Yap, bahasanya masih asli pakai Bahasa Jepang. Orisinalitas lah yang membuatku berpandangan kalau secara resmi anime pertama yang kutonton adalah anime yang pengisi suaranya menggunakan Bahasa Jepang.
Dan sejak saat itu, aku suka anime.
Tentu gak semua anime aku suka. Aku gak suka anime tentang robot atau mecha. Ini juga berlaku sama dengan film yang berbau robot. Tapi entah kenapa aku nonton Guilty Crown dan suka tuh ya. Padahal itu anime ada unsur robot-robotnya. Mungkin karena cerita itu terkait dengan post-apocalypse dan persebaran virus. Mengingatkanku pada zombie.... Yah, selain robot, aku sepertinya gak ada masalah nonton anime.
Cuma kalau harus milih aku punya kriteria sendiri untuk nerima anime mana yang mau aku tonton. Anime yang kutonton biasanya berpusat pada genre supranatural (this is a must!). Genre supranatural itu pasti genre horror masuk dan udah pasti merangkap genre fantasi (kesukaanku selalu) yang kalau udah bicara fantasi bisa bercabang ke mana-mana yaitu bisa jadi aku suka sci-fi. Selain itu, aku juga suka genre thriller dan psikologis. Gak jarang aku juga nonton anime yang mewek-mewek macem Clannad, Air, dan Angel Beats yang masuk genre slice of life dan drama, kadang ada komedinya. Aku juga nonton anime sport kayak Free!. Kayaknya hampir semua anime Free! (kecuali Free! 3) bahkan filmnya udah aku tonton.
Aku juga suka nonton anime yang punya artwork bagus. Bless me anime Another punya artwork yang bagus sekali. Setahuku P. A. Works memang selalu bagus. Contoh anime yang udah kutonton dari P. A. Works adalah Angel Beats, Tari-Tari, Glasslip, dan Another. Selain P. A. Works, Kyoto Animation itu juga selalu ngeluarin anime dengan gambar berkualitas. Aku bahkan sempat nonton anime bermula dari cari-cari informasi anime apa aja yang dikeluarin Kyoto Animation sampai aku berhasil nonton adalah Clannad, Kanon, Free!, Tamako Market, dan Hyouka.
Selain dari dua faktor di atas, aku juga suka sama tokoh anime yang pemeran cowoknya punya rambut warna gelap. Tokoh film, anime, ataupun manga, bahkan webtoon pun aku menyukai karakter cowok yang punya rambut gelap. Kebanyakan hitam atau cokelat gelap. Biru tua masih masuk. Selebihnya semua biasa aja bagiku.
Awalnya, aku sempat kesusahan belajar Bahasa Jepang. Aku merasa lidahku gak bisa nyatu waktu ngomong Bahasa Jepang. Gampangannya adalah logatku kental banget Bahasa Indonesianya. Atau juga Bahasa Jawanya. Rasanya gak pas aja. Terus sejak nonton anime, aku merasa aku bisa meniru gaya orang Jepang ngomong dan itu membuatku bisa menempatkan artikulasi lidahku lebih tepat. Walau pasti menurutku, atau para ahli Bahasa Jepang tetap menganggap logat Bahasaku kental banget, tapi menurutku pribadi ini jauh lebih baik sejak aku nonton anime.
Nonton anime juga buat aku belajar banyak buat nangkap kotoba (kosakata) baru dalam Bahasa Jepang. Walaupun gak semua bisa diandalkan karena dalam anime seringnya para tokoh ngomong pakai bahasa informal, dan gak jarang termasuk kasar, tapi aku jadi belajar penggunaan bahasa sehari-hari mereka. Aku juga belajar logat Kansai yang menurutku keren, deh. Tokoh anime pertama yang kutahu punya logat Kansai adalah Heiji Hattori, teman sohibnya Sinichi Kudo di anime Detective Conan.
Nah, kembali lagi, sebenarnya apa, sih, otaku itu?
Menurut Wikipedia, otaku adalah istilah bahasa Jepang yang digunakan untuk menyebut orang betul-betul menekuni hobi. Sejak paruh kedua 1990-an, istilah otaku mulai dikenal di luar Jepang untuk menyebut penggemar berat subkultur asal jepang seperti anime dan manga, bahkan ada orang yang menyebut dirinya sebagai otaku.
Otaku ini sebenarnya ada bermacam-macam dan gak jarang aneh-aneh juga. Yang paling umum ada anime otaku, yaitu orang-orang yang gemar anime.Terus ada game otake, cosplay otaku, idol & Jpop otaku, sampai yang mulai agak nyeleneh yaitu train otaku (iya! Emang ternyata ada. Waktu aku tahu soal ini juga kaget banget. Kita tahu kan kalau orang Jepang suka banget naik kereta dan kereta ada banyak banget di sana, nah, jadi ada orang yang suka sekali memotret kereta atau mencoba untuk sesering mungkin naik kereta) dan seiyuu otaku (ini adalah orang-orang yang suka sama pengisi suara anime. Gak jarang mereka nonton anime bukan karena suka animenya, tapi suka sama pengisi suaranya lantaran menurut mereka lucu dan unik).
Dan sebenarnya apa perbedaannya dengan wibu?
Menurut sumber dari wordpress Media Informasi, wibu adalah orang yang terlalu fanatik dengan segala hal yang berbau Jepang. Wibu hampir sama dengan otaku tapi kadar wibu lebih over ketimbang otaku.
Mungkin ini yang mendasari mengapa para wibu pada di-bully. Jadi bisa dipastikan, aku gak setuju sama orang-orang yang memandang rendah wibu karena sebagai salah satu anime otaku, aku ngerasa kita semua berhak menyukai suatu objek tertentu. Sebenarnya kasihan, lho. Kenapa kita gak bisa menghargai selera orang. Oke lah mungkin orang itu jadi terkesan berbeda sendiri atau hidup di dunianya sendiri. Kita, kan, gak benar-benar tahu alasan mereka suka anime atau hal yang berbau Jepang sendiri itu apa. Kita gak tahu kalau setiap orang butuh tempat pelariannya sendiri. Selama itu bisa membuat mereka menjadi lebih baik, kenapa harus dilarang? Kecuali jika mereka mulai menunjukkan kebiasaan-kebiasaan aneh seperti mulai menarik diri dari lingkungan. Kalau seperti itu, kita harusnya coba nolong dan bantu mereka.
Dan lagi budaya Jepang itu gak semuanya jelek. Aku suka budaya Jepang yang teratur dan disiplin dan suka jaga kebersihan. Aku suka gimana orang-orang sana bisa modern sekali tapi gak sedikit pun melupakan budaya asli dan tradisional mereka. Kecintaan akan negeri mereka tinggi. Menurutku sisi positif ini harusnya bisa kita ambil dan terapkan di kehidupan sehari-hari.
Bukankah kita harus bisa menyaring hal yang positif dan negatif? Kalau dipikir budaya Jepang ada yang buruk dan gak sesuai, itu seharusnya tergantung dari kesadaran pribadi masing-masing untuk memilih mengambil atau meninggalkan hal tersebut. Tapi bagaimana pun juga yang namanya menyalahkan hobi seseorang itu menurutku gak benar. Hobi selalu bisa bermanfaat kalau bisa dimanfaatkan dengan baik. Daripada menghina, kenapa gak kita coba bantu dengan mendukung hobi dan mengarahkan hobi tersebut ke arah yang positif? Lalu, kalau menurut diri sendiri kita gak bisa bantu atau berkontribusi apa-apa, lebih baik diam aja.
Comments
Post a Comment