SEMENJAK SEMUA INI MEMBAIK

by - July 21, 2014

Semenjak semua ini membaik, aku mendapatkan teman-teman baru di kelas sepuluh yang pada awalnya aku pandang sebelah mata. walaupun tidak sedikit orang yang jahat—yang menikammu dari belakang dan mencemoohmu terhadap hal-hal sepele—tapi tidak sedikit pula orang-orang yang baik dan menyenangkan.

Semenjak semua ini membaik, aku pikir semuanya akan tetap seperti ini. Akan selalu baik-baik saja dihiasi dengan zona bahagia, nyaman, dan tentram. Kupikir aku masih bisa tetap bersama mereka. Berbagi hal-hal baru bersama mereka. Belajar, bertukar pikiran, dan saling menyemangati satu sama lain seperti, “Eits, jangan bilang ‘gak bisa’, tapi...” dan kemudian aku akan melanjutkan kalimatnya dengan senyuman, “Yap, tapi ‘belum bisa.”


Semenjak semua ini membaik, dengan kembalinya Cims di tahun baru 2013, kupikir semuanya akan berjalan lancar-lancar saja. Cims yang akan selalu di sana menyemangatiku, mendengarkan curhat entang hari-hariku, dan sesekali menelpon ketika aku sendirian di rumah. Lalu kemudian aku bisa mewujudkan balas dendamku dengan berusaha meraih nilai yang memuaskan setelah aku mendapatkan nilai buruk sepanjang aku hidup.

Semenjak semua ini membaik, aku menyadari aku telah naik kelas dan berpisah dengan teman-teman yang menyenangkan seperti mereka. Terlalu muluk-muluk memang berharap kalau kami bisa satu kelas lagi. Tapi kenyataanya sebagian teman-teman baikku mengambil jurusan yang berbeda, jadi sudah jelas kami tidak akan sekelas.

Semenjak semua ini membaik, aku juga menyadari kalau aku harus mulai beradaptasi lagi dengan kelas yang baru, wajah-wajah baru, kepribadian yang berbeda-beda. Sempat aku berteriak dalam hati mengapa rasanya Tuhan tidak adil harus memisahkanku dengan mereka. Aku punya perasaan...kalau di kelas baru ini sesuatu yang hebat akan terjadi.

Semenjak semua ini membaik, aku tahu tebakanku—lebih tepatnya intuisiku—tidak pernah salah. Tentu semua diawali dengan pertemanan yang menyenangkan. Aku masih belum mengenal teman-teman baru dengan baik, tapi setidaknya ada satu orang yang menyenangkan. Seolah dia memang ditakdirkan untuk menjadi sahabatku di SMA.

Semenjak semua ini membaik, kehidupanku dengan teman sebangkuku mulai berubah. Tanpa aku bisa mencegahnya, hubungan kami renggang. Aku sempat menyesal mengapa aku harus sekelas lagi dengannya dan memutuskan duduk dengannya. Aku mungkin memang bodoh dalam mencari teman.

Semenjak semua ini membaik, rencana-rencana kelas sebelas yang menyenangkan dan damai nyaris gagal total. Semua kacau dan tidak sesuai harapan. Aku mulai bertanya-tanya kepada Tuhan apa ada yang salah denganku? Kalau benar iya, tolong sadarkanlah aku agar kembali seperti dulu.

Semenjak semua ini membaik, hubunganku dengan teman sebangkuku mulai sehat. Bertolak belakang dengan teman yang awalnya aku anggap bisa menjadi sahabatku di SMA—hubungan kami retak. Aku tak pernah merasa bosan dalam berteman dengan seseorang sebelumnya, tapi aku merasa sangat amat bosan berada dekat dengannya. Aku lantas bertanya lagi kepada Tuhan apakah ini salah satu proses ‘sadarkan aku’?

Semenjak semua ini membaik, aku menyadari kehidupan kelas sebelas sangat tidak baik. Aku tahu setiap tahunnya kita sebagai manusia selalu mendapat satu cobaan dari Tuhan dengan tujuan menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Dan aku sadar setiap tahunnya cobaan itu akan semakin berat dan berat. Tapi aku juga sadar, tidak ada cobaan yang bertahan selamanya.

Semenjak semua ini membaik setahun yang lalu, aku berdoa agar di tahun terakhir kehidupan SMA ini akan berakhir bahagia dan menyenangkan layaknya akhir kehidupan SMP. Agar aku bisa dengan layak menyimpan kenangan ini di otakku sebelum aku memerintahkan otak untuk menghapus semua kenangan buruk dan tidak berkesan.

*** 
8 Juli 2014


22:19 PM

You May Also Like

0 comments