PAPAKU YANG KUSAYANG

by - March 23, 2017


Papaku yang kusayang adalah sosok pria yang lahir 49 tahun lalu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Merapi. Beliau cerita hidupnya dulu sangat sederhana. Beliau terbiasa jalan kaki berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah. Biasa melewati sungai-sungai, melepas sepatu, dan tidak boleh berangkat sekolah sebelum mencuci pakaian, apapun alasan dan kondisinya.

Papaku yang kusayang pernah bercerita dulu beliau pernah memancing di suatu kolam di kebun. Saat sedang santai menunggu pancingnya terkena ikan, Papa menyadari kalau tak jauh dari dirinya duduk, ada ular yang sedang melingkar di sebuah ranting pohon. Papa perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya dan melarikan diri begitu saja meninggalkan alat-alat pancingnya. 

Papaku yang kusayang juga pernah bilang kalau beliau bukan orang yang pandai dalam bidang akademis. beliau bilang kalau sudah cukup beruntung dan bersyukur ketika Mas tirinya mengajaknya untuk hijrah ke Ambon dan mencari pekerjaan. Saat itu beliau baru saja lulus SMA dan beliau menangguhkan semuanya kepada Allah. "Jika saat itu Papa tidak mengambil mengambil kesempatan itu," Papa bilang. "Papa gak yakin apa Papa bisa seperti sekarang." 

Papaku yang kusayang bukanlah sosok romantis seperti yang diidam-idamkan anak-anak tapi aku sudah bersyukur memilikinya. Papaku mungkin tidak akan memberikan apa yang kuminta dengan cuma-cuma tapi beliau mengajarkan dengan usaha yang keras, apa yang diinginkan nanti akan datang dengan sendirinya. Beliau mungkin tidak akan langsung mengiyakan apa yang kuminta dengan cuma-cuma tapi beliau memberikan sebuah pemahaman jika usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Beliau tidak akan langsung memberikan apa yang kuminta dengan cuma-cuma bahkan ketika aku merajuk karena beliau ingin aku belajar kalau apa saja yang didapatkan secara instan itu tidak ada gunanya.



Papaku yang kusayang bukanlah orang yang cerewet dalam segala hal. Terkadang beliau hanya perlu mengatakan satu atau dua patah kata saja dan apa yang keluar dari mulutnya adalah keputusan final. Siapapun yang membantah biasanya akan didiamkan oleh Papa sebagai tanda kalau Papa kecewa. Aku pernah mendengar Papa berbicara padaku saat beliau mengungkapkan kekecewaannya dan aku benar-benar merasa menyesal kemudian. Aku merasa ada sebilah pisau yang menyayat hatiku dan membuatku menangis. Beliau sampai berkata, "Buat apa kamu menangis kalau itu hanya sesaat dan kamu tidak benar-benar menyadari kesalahanmu dan berusaha memperbaikinya?"

Papaku yang kusayang adalah orangnya suka bercanda. Menurutku selera humornya bagus juga. Tapi kalau Papa sedang serius, hanya menatap sekilas saja orang bisa tahu kalau Papa sedang tidak main-main.

Papaku yang kusayang adalah orang yang bisa diandalkan kalau soal waktu. Beliau selalu mengedepankan tepat waktu. Perhitungannya tepat. Beliau tidak suka orang yang tidak tepat waktu dalam urusan pertemuan atau orang yang bekerja lambat. Kebiasaan itu menurun padaku. Biasanya kalau ada janji bertemu dengan teman-teman, aku adalah orang pertama yang hadir. Sampai-sampai salah satu temanku bilang, "Fiera ini selalu jadi yang pertama kalau hadir di pertemuan, ya?" Aku baru menyadari sekarang dari mana kebiasaan itu berasal.

Papaku yang kusayang sering terlihat begitu lelah sepulang dari kantor. Beliau biasanya akan lebih memilih tidur setelah shalat Isya. Sering aku menatap beliau diam-diam saat beliau mengerutkan dahinya--berpikir. Entah apa yang dipikirkannya aku tidak tahu dan aku takut untuk bertanya. Tapi sepertinya aku sedikit memahami kalau itu menyangkut tentang uang.

Papaku yang kusayang mulai hidup lebih hemat sejak aku mulai kuliah. Beliau lebih memilih berangkat naik kendaraan umum ketimbang naik kendaraan pribadi. Aku terkadang sungkan jika harus meminta uang jajan lebih pada beliau. Aku merasa gagal menjadi seorang anak yang bisa hidup berhemat. Lihatlah Papa, yang walau masih harus membayar ini itu, nyatanya tidak merasa kekurangan dan mengeluh.

Papaku yang kusayang pernah bercerita tentang teman-teman kantornya yang menjerit saat bertukar cerita tentang masalah pembayaran uang kuliah. Namun Papa hanya diam dan mendengarkan saja. Aku sering melihat Papa termenung lama di kursi dengan tatapan mata yang menerawang. Papa mungkin sedang berpikir besok akan makan apa, nanti bagaimana uang saku Fiera, bagaimana uang kos Fiera, bagaimana uang UKT Fiera akan dibayarkan. Berbagai pertanyaan mungkin berkecambuk di pikiran Papa tapi Papa tidak pernah membicarakannya keras-keras. Mungkin iya kepada Mama.

Papaku yang kusayang, walau beban yang ditanggungnya banyak, beliau tetap selalu berusaha menjadi pribadi yang optimis. Aku tidak pernah melihat beliau mengeluh kesusahan. Mungkin iya saat di hadapan Allah. Beliau selalu percaya kalau rezeki pasti punya jalannya sendiri menemui empunya.

Papaku yang kusayang usianya sekarang tidak muda lagi. Semakin hari semakin tua. Tubuhnya tidak akan sekuat dulu. Ada satu olahraga yang beliau suka, yaitu bersepeda. Beliau sering ikut lomba-lomba bersepeda di berbagai kota. Beliau orangnya gemuk. Beratnya 94 kg tapi beliau juga suka berjalan. Aku pernah diajak jalan-jalan pagi oleh beliau dan baru beberapa kilo saja aku sudah menyerah kelelahan sedangkan beliau masih terlihat bersemangat dan bugar. Mungkin karena dulu sering berjalan jauh waktu masih kecil.



Papaku yang kusayang sukanya makan yang bersantan, makan daging, huh sampai kadang membuat Mama sebal karena Papa susah sekali untuk bisa mengontrol pola makannya. Tapi belakangan kuketahui kalau Papa mulai mengurangi porsi makannya dan membatasi makanan yang bisa menyebabkan asam urat.

Papaku yang kusayang pernah terkena asam urat dua kali sampai jalannya pincang. Mama kesal berat karena Papa makan buah durian yang banyak sampai menghabiskan jatah Mama. Lantas saat Papa terkena asam urat, Mama bilang ke Papa, "Makanya jangan rakus, dong, Pa. Lihat, kan, jadi bengkak kakinya dan gak bisa jalan."

Papaku yang kusayang sudah banyak memberiku berbagai hal di hidupku yang sudah berjalan selama 19 tahun ini namun tampaknya aku belum pernah bisa memberikan satu hal yang cukup berarti baginya--sesuatu yang bermakna hakiki dan menyenangkan hatinya. Di umurku yang semakin beranjak naik, aku ingin Papa juga bisa melihatku bersinar. Aku ingin Papa selalu ada untukku sampai nanti-nanti. Selamanya kalau bisa.

Papaku yang kusayang, jika aku bisa menawar pada Allah, aku ingin Papa diberi umur panjang dan kesehatan yang sejahtera. Namun seperti kata Papa sebelumnya, doa saja tidak cukup untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Aku ingin Papa juga terus bersepeda, terus berjalan kaki, terus menjaga pola makan yang baik, dan menjaga tubuh.

Papaku yang kusayang, mau tidak kalau aku memberikan Papa hadiah kecil berupa alat olahraga sederhana dari Elevenia yang terus membuat Papa termotivasi untuk hidup sehat, agar Allah melihat usaha Papa juga dan memberi umur yang panjang buat Papa. Mau, kan, Pa? Mau, ya?


 Credit pictures to: Snezhana Soosh.

Cerita ini diikutkan lomba blog Elevenia.

You May Also Like

0 comments